Mohon tunggu...
Zia Mukhlis
Zia Mukhlis Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemerhati Pendidikan dan Sosial Budaya

Jurnalis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Profesor yang Hatinya Tidak Profesor

8 Mei 2018   13:53 Diperbarui: 8 Mei 2018   14:04 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syahdan, ada seorang profesor yang sangat masyhur di sebuah kota. Ia mengajar di sebuah kampus ternama di kota tersebut dan selalu mendapat penghargaan dari karya-karya yang diciptakannya. Sang profesor sangat dikagumi oleh para mahasiswa dan sesama dosen di kampus tersebut. Karya-karyanya yang memukau membuat namanya selalu meroket.

Cita-citanya adalah ingin menjadi rektor kampus di kotanya itu dan menjadikan kampus itu ternama dimana-mana. Karena kehebatan, kecerdasan dan ambisinya yang sangat kuat akhirnya ia berhasil menjadi rektor di kampus yang ia inginkan dan berhasil menjadikan kampus yang ia pimpin menjadi ternama. Sontak namanya semakin naik dan terkenal dimana-mana.

Suatu ketika kota digemparkan oleh berita yang sangat mengejutkan. Sang profesor yang termasyhur telah meninggal dengan sangat tragis, ia bunuh diri dan sebelum membunuh diri ia membunuh anaknya. Betapa masyarakat tak mempercayai berita ini. Seorang yang mereka kagumi dan sayangi dikabarkan telah melakukan hal yang paling keji. Mana mungkin orang yang berpendidikan seperti dirinya melakukan pekerjaan yang rendah seperti ini.

Setelah diselidiki ternyata memang kejadian yang menimpa sang profesor sebagaimana yang diberikan. Tapi sebelum sang profesor mengakhiri hidupnya ia sempat menulis surat wasiat untuk sahabatnya, surat itu berbunyi,

"untuk sahabatku tercinta...

Semoga kesehatan dan kedamaian menyertaimu kawan,

Yang ku tahu kau adalah orang yang paling dekat denganku, kau tahu bagaimana diriku dan pribadiku, tak ada sesuatu yang terlintas dibenakku kecuali ku diskusikan denganmu. Namun akhir-akhir ini aku sering merasakan gelisah, ku tak tahu apa yang membuatku selalu geliasah, padahal segala pencapaikan telah ku lakukan, karirku ku habiskan untuk pendidikan dan umurku ku habiskan untuk memajukan kampus yang ku pimpin, tapi tetap semakin tinggi puncak yang capai semakin pula gelisah menghantuiku.

Hingga akhirnya aku panik dan tak bisa menahan diri lagi, berkali-kali ku mencoba untuk menenangkan diri, baik obat terlarang dan sebagainya telah ku coba, tapi tetap gelisahku tak hilang. Aku yakin ini bukan tentang ide yang tak tersalurkan atau pikiran yang buntu, tidak, ini tentang perasaan dan ketenangan.

Setelah aku melakukan semua ini barulah aku sadar, bahwa yang selama ini membuatku gelisah adalah aku tak memiliki tempat bersandar, aku tak memiliki keyakinan dan aku tak memiki 'tuhan'. Hina diri ini ketika menyadari bahwa aku telah terlamabat, tak ada gunanya gelar dan pendidikan yang tinggi jika kau tak memiliki tuhan tempat bersandar dan mengadu. Ah sudahlah... aku telah terlambat, aku sangat iri kepadamu yang sangat taat dalam ibadahmu, wajahmu selalu tenang seolah tak pernah dihinggapi masalah, terus peganglah keyakinanmu, karena hidup bersandar pada tuhan adalah sebaik-baik kehidupan.

Sahabatmu tercinta."

Usai membaca surat dari sang sahabat tercinta, menitiklah air matanya, sambil ia berujar, "tak ada kata terlambat dalam 'taubat', sahabat. Jika kau sadar akan hal itu kenapa kau mengambil jalan seperti ini..."

Apa daya karena sang sahabat telah terbujur kaku menjadi mayit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun