Mohon tunggu...
Zia ul Haramein
Zia ul Haramein Mohon Tunggu... Guru - Jangan mati sebelum menulis

Kutulis apa yang kubaca dan pahami, tak peduli engkau setuju atau murka

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Mampukah Kita Ma'shum Seperti Para Nabi?

28 April 2021   08:45 Diperbarui: 28 April 2021   08:55 5026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Nampaknya kata "ma'shum" sudah tidak asing di telinga kita. Apalagi jika kita sering membaca atau mendengar kisah para nabi dan orang-orang saleh. Sifat Ma'shum ialah bentuk maf'ul bih atau aspek objektivitas dari suatu perbuatan yang disebut 'Ishmah. Tidak jarang pula kita mendengar kata 'Ishmatullah, karena kata ini memang suatu sifat khusus yang Allah berikan pada hambaNya yang dikehendaki.

'Ishmah berarti penjagaan dan perlindungan. Biasanya kata ini digunakan pada konteks "penjagaan Allah atas hambaNya dari perbuatan buruk dan maksiat". Semakna dengan wiqayah, 'ishmah lebih sering diaplikasikan sebagai sifat objeknya, yaitu ma'shum yang berarti "hamba yang terjaga". Lebih menyempit lagi, kata ma'shum kerap digunakan pada konteks kenabian. Para nabi adalah hamba-hamba Allah yang ma'shum, terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat. Kendati demikian, jelas sah-sah saja jika orang tua menamakan anak mereka Ma'shum.

Seluruh Nabi ﷺ Adalah Ma'shum

Mayoritas ulama telah berkonsensus bahwa seluruh nabi adalah sosok yang dijaga Allah dari dosa besar maupun kecil. Sedangkan 'kesalahan' yang terjadi pada sebagian nabi hanyalah berupa kekeliruan dan kealpaan. Itupun setelah melakukan kesalahan, mereka akan segera diingatkan Allah, sehingga mereka segera memohon ampun. Luput kita sadari pula, sifat lupa dan salah yang Allah ilhamkan kepada para nabi juga kerap menjadi syariat bagi umatnya.

Apakah tidak ada yang ma'shum selain Nabi? Ada, namun tidak menggunakan kata ma'shum/'ishmah. Habib Zein bin Smith dalam kitab Bahjah al-Thalibin fi Muhimmat Ushul al-Din menukil dari keterangan Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas rahimahullah, bahwa para Nabi diberi keistimewaan berupa 'Ishmah, sedangkan para waliyullah diberi keistimewaan Hifdz. Maka para auliya' memiliki sifat Mahfudz. Makna keduanya sama, yaitu penjagaan dan perlindungan yang Allah anugerahkan. Dengan demikian seorang wali atau orang saleh yang mahfudz juga akan segera bertaubat sesaat setelah berbuat salah. Beliau menambahkan, meski memiliki penjagaan yang sama dari Allah, posisi para auliya' tidak akan mencapai derajat kenabian.

Perbedaan 'Ishmah dan Hifdz

Masih dalam kitab al-Bahjah, Habib Zein memaparkan penjelasan Habib Idrus bin Umar al-Habsyi mengenai perbedaan antara keduanya. Penjagaan yang berupa 'ishmah adalah khusus bagi para nabi. Maka dengan kondisi ini tidak memungkinkan mereka melakukan untuk maksiat, baik dosa besar maupun kecil, baik sebelum kenabian maupun setelahnya. Sedangkan hifdz bagi para auliya' di mana mereka terjaga dari dosa, namun tidak menutup kemungkinan adanya hal-hal kecil nan jarang yang mereka lakukan sebagai khilaf. Dan seketika mereka segera bertaubat setelah melakukan kesalahan ini.

Habib Idrus al-Habsyi juga menolak keras adanya penafsiran dari sebagian mufassir (ahli Tafsir) tentang sebagian kisah para nabi dan menyebut mereka melakukan perbuatan dosa; ini adalah sikap suu' al-adab (ketidaksopanan) kepada para anbiya'. Padahal seluruh ulama telah sepakat bahwa para nabi tidak melakukan maksiat, tapi mereka hanya terpeleset pada khilaf al-aula (kesalahan minor).

Contoh Kesalahan Para Nabi ﷺ dan Ishmah-nya

Kesalahan para nabi yang dikisahkan dalam al-Quran maupun Sunnah, sebagaimana ditegaskan, bukanlah bentuk kemaksiatan. Mereka senantiasa terjaga dari perbuatan buruk. Kalau pun hal ini terjadi, tidak lain semata-mata karena Allah yang membuat mereka lupa. Pun ada kalanya karena Allah ingin menurunkan syariat baru bagi hambaNya, di mana syariat itu belum pernah ada sebelumnya.

Seperti kisah yang terjadi pada Nabi Musa ﷺ saat ditanyakan, "Apakah ada orang yang lebih pandai darimu, wahai Musa?" Ia menjawab, "Tidak ada". Seketika Allah menjawab, "Tidak, tapi hambaKu Khadir (yang lebih pandai)". Dengan demikian Nabi Musa ﷺ meleburkan 'keangkuhannya' dengan mencari cara menemui Khadir (kita biasa menyebutnya Nabi Khidir ﷺ). Di situ ia bertaubat dari kesombongannya.

Dari kisah ini kita memahami bahwa Allah 'sengaja' membuat Nabi Musa ﷺ khilaf dengan bersikap sombong agar terjalin sisi penasaran untuk menemui sosok Khadir. Kisah keduanya pun memperluas wawasan kita bahwa yang dibawa Nabi Musa ﷺ sebagai syariat tidak sepenuhnya sesuai dengan perilaku 'aneh' dari Khadir. Pun yang dilakukan Khadir di luar batas syariat merupakan ujian bagi seorang Musa, apakah ia mampu sabar dalam proses 'belajar' ini. Di situlah ada pemahaman bahwa tidak semua yang kita pahami secara dzahir, dapat dihukumi secara dzahir pula.

Kealpaan juga tidak luput dari sosok mulia Baginda Nabi Muhammad ﷺ yang pernah Allah ilhami rasa lupa, demi menurunkan syariat. Salah satunya syariat Shalat Qadha. Dikisahkan oleh sahabat Jabir bin Abdullah ra,

أنَّ عُمَرَ بنَ الخَطّابِ، جاءَ يَومَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ ما غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفّارَ قُرَيْشٍ، قالَ: يا رَسولَ اللَّهِ ما كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حتّى كادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قالَ النبيُّ ﷺ: واللَّهِ ما صَلَّيْتُها فَقُمْنا إلى بُطْحانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاةِ وتَوَضَّأْنا لَها، فَصَلّى العَصْرَ بَعْدَ ما غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلّى بَعْدَها المَغْرِبَ

"Umar bin Khattab pada perang Khandaq, (sibuk) menyumpah-serapahi kafir Qurays (hingga tanpa disadari) menjelang waktu Maghrib. Lalu ia berkata, "Wahai Nabi, aku belum shalat Ashar, dan matahari hampir tenggelam". Nabi menimpali, "Demi Allah, aku pun belum shalat". Segera kami pergi ke Buth-han (sebuah lembah yang terdapat air) lalu kami berwudhu dan shalat Ashar saat langit telah gelap, dan dilanjutkan dengan shalat Maghrib". [HR. Bukhari]

Dari hadis sahih ini kita dapati syariat bagaimana seharusnya saat kita terlupa suatu shalat. Rasulullah ﷺ dan Sayyidina Umar ternyata melakukannya segera setelah ingat, tanpa menunggu waktu Ashar di hari berikutnya. Premis terakhir ini bisa jadi kita alami ketika Nabi ﷺ seumur hidupnya tidak pernah lupa dan menyontohkan bagaimana seharusnya qadha' atau mengganti shalat.

Kisah lainnya yaitu saat Nabi ﷺ diilhami oleh Allah sebuah 'kesalahan' dalam raka'at shalat. Shalat yang seharusnya dilakukan empat raka'at, tapi Baginda Nabi ﷺ salam pada raka'at kedua. Dari Abu Hurairah ra,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ ﷺ انْصَرَفَ مِنَ اثْنَتَيْنِ، فَقالَ له ذُو اليَدَيْنِ: أَقَصُرَتِ الصَّلاةُ، أَمْ نَسِيتَ يا رَسولَ اللَّهِ؟ فَقالَ رَسولُ اللَّهِ ﷺ: أَصَدَقَ ذُو اليَدَيْنِ فَقالَ النّاسُ: نَعَمْ، فَقامَ رَسولُ اللَّهِ ﷺ، فَصَلّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ كَبَّرَ، فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ

"Baginda Nabi pernah menyudahi shalat dua raka'at, lalu (di antara para sahabat) Dzul Yadain berkata, "Kita mengqashar shalat atau engkau lupa (raka'at), wahai Rasulullah?" Nabi mengonfirmasi, "Benarkah yang dikatakan Dzul Yadain?". Jamaah menjawab, "Benar". Lalu Nabi berdiri kembali melanjutkan dua raka'at yang tersisa, salam, lalu bertakbir untuk sujud (sahwi) dengan sujud serupa atau lebih panjang". [HR. Bukhari dan Muslim]

Dengan kondisi Nabi lupa semacam ini, mustahil tidak ada andil Allah di dalamnya. Dengan adanya perkara ini, kita sebagai umatnya mengetahui bahwa jika kita terlupa dalam shalat, dapat dilengkapi dengan tambahan Sujud Sahwi. Bayangkan jika sepanjang hayat Rasulullah ﷺ tidak pernah lupa dalam shalat, maka para sahabat akan kesulitan menghukumi; apakah harus diulang raka'atnya, atau bahkan diulang shalatnya.

Uniknya Syariat Allah

Dari fenomena di atas, kita semakin memahami bahwa Allah memberi keistimewaan pada para nabi dan orang-orang saleh, tanpa membiarkan mereka meninggalkan aspek ke-'manusia'-annya. Sifat manusia yang merupakan tempatnya salah dan lupa, masih menjadi perangai mereka. Namun mereka adalah manusia yang berbeda dari manusia lainnya, dengan penjagaan khusus dari Allah.

Maka kita sebagai hambaNya yang lepas dari penjagaan khusus ini, alangkah mulianya jika 'penjagaan' itu datang dari qalbu kita masing-masing. Jika para nabi dan orang saleh bisa diberi Allah ilham untuk segera bertaubat dengan kesalahannya, lantas apa kurangnya kita yang juga diberi peringatan dari ayatNya dan sunnah NabiNya ﷺ. Justru penjagaan ini tidak kalah agung sebab kita dapat mengkolaborasikan seluruh kalamNya dan nasehat-nasehat nabiNya ﷺ demi meminimalisir dosa dan maksiat yang kita lakukan.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun