Sebagai salah satu saksi mata saat itu, kondisi tersebut dipicu oleh seorang anak perempuan dsri seorang ustadz diperkosa lalu dibunuh oleh seorang yang kebetulan rasnya Thionghoa. Saya kemudian membaca INI. Diceritakan lebih lengkap tentang kasus itu begini:
Pada 15 September, yang disebut "September Berdarah" oleh media-media, nasib nahas Ani Mujahidah Rasunnah, bocah berusia 9 tahun, akibat ditebas parang Benny Karre memicu kemarahan yang meluas. Benny, orang dengan masalah kesehatan jiwa tetapi kebetulan seorang Tionghoa, dibingkai "oleh pihak-pihak tertentu, orang-orang tak bertanggungjawab, untuk memancing air keruh," tulis Ratna Kustiati dan Fenty Effendi dalam Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani (2004: 61-62).
Peristiwa itu berbuntut aksi penjarahan pada toko-toko milik warga Tionghoa. Harian Suara Pembaharuan edisi 19 September 1997 menulis kerugian akibat kerusuhan itu mencapai Rp17,5 miliar.
Saya kira apa yang diperkirakan sebagai kerugian itu bisa jadi lebih parah, sebab korban perasaan dan comping camping Sang Merah Putih tak dihitung sebagai sebuah kerugian. Padahal efek dari itu pergerakan ekonomi di Makassar lumpuh puh. Hubungan sosial juga menjadi tidak sebaik sebelumnya.
Bahkan akibat dari pembakaran hebat terhadap beberapa toko dan rumah di Makassar pada tahun 1997, juga menjadi trigger bagi munculnya berbagai gerakan lainnya di Indonesia. Indonesia tak boleh menyepelekan konflik di bagian paling pinggir dan bagian terkecil sekalipun...
Benderaku bisa berkibar gagah pada Pemilu Krusial Paling Demokratis pada tahun 2004 dan 2009. Tak terdengar banyak konflik sosial yang tak bisa terselesaikan masa itu. Tetapi, pada tahun 2010, tiba-tiba muncul kembali  berbagai permasalahan sosial yang mengakibatkan Merah Putih ku menangis.
Kini, terjadi lagi kasus yang sama pasca Pemilu 2019, bahkan bersamaan dengan Bulan Kemerdekaan Sang Merah Putih... Melihat berbagai kasus dari tahun ke tahub, apakah saudara bisa memberikan kesimpulan apa sesungguhnya yang terjsdi dengan bangsa ini...?