Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Papua Itu Kita

21 Maret 2016   09:37 Diperbarui: 21 Maret 2016   10:35 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

8 Juni 2015

Harian Indoprogress

BANYAK persoalan di negeri ini, yang, jika diselesaikan, juga akan mengubah situasi di Papua. Kemiskinan, pendidikan dan kesehatan yang buruk, tanah dirampas, demo direpresi, aktivis-aktivis dipenjara—juga dibunuh, Jenderal pelanggar HAM tak satupun diadili dan dipenjarakan, imbal hasil korporasi raksasa belum menguntungkan negara dan pasal 33 UUD ’45 yang aus tak pernah digunakan.

Lalu apa khususnya Papua, selain Raja Ampat yang indah, Otonomi Khusus yang khusus karena aturannya acakadul, wilayah kuasa tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang kuasanya melebihi kuasa Tuhan, harga-harga barang pokok yang mahal, ketimpangan yang tinggi, dan kematian yang datang begitu cepat terhadap penduduk asli?

Viktor Yeimo membuat kita terkejut di dalam tulisannya: Papua sedang dijajah. Oleh siapa? Indonesia? Tidakkah kita mesti membedakan penindasan dan diskriminasi dengan penjajahan? Tidakkah Papua hanya sedang mengalami dua yang pertama, sehingga sama saja nasibnya dengan rakyat Indonesia lainnya, sama-sama di bawah cengkeraman imperialisme? Bagaimana mungkin Indonesia yang juga sedang dijajah kapital global juga menjajah Papua?

Viktor Mambor membuat wajah kita memerah di dalam gugatannya terhadap rasisme struktural. Siapa yang rasis? Apakah menganggap orang Papua ‘kanibal dan terbelakang’, mengata-ngatainya sebagai “monyet” itu rasis? Tidakkah pembedaan ‘orang papua asli’ dengan ‘pendatang’turut mempertahankan bibit konflik dan membuat ‘pendatang’ juga ‘merasa didiskriminasi?’ Bukankah para ‘pendatang’ juga memberi kontribusi membangun Papua? Bukankah stereotip terhadap orang-orang Papua—terbelakang, pemabuk, boros, korup—meluas karena ‘kelakuan’ orang-orang Papua sendiri?

Bukankah pemerintah Jokowi telah ‘berbaik hati’ hendak membangun lumbung padi terbesar se-Indonesia di Papua, membangun smelter di Timika, memberi pengampunan pada lima tahanan politik? Kenapa orang-orang Papua tidak memanfaatkan saja ruang yang ada ini untuk membangun Papua dalam damai dan harmoni? Kenapa masih saja menuntut kemerdekaan sampai dipenjara, mendukung keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group (MSG) melalui aksi-aksi damai dan sosialisasi hingga hampir lima ratus orang ditangkap?

Bagaimana mungkin kita memahami ini semua jika tidak, pertama-tama, menyingkap selapis demi selapis tabir historis dari semua problem Papua hari ini. Dari asal usul mewabahnya minuman keras, HIV/AIDS, menurunnya populasi Papua asli, maraknya korupsi, hingga mengapa aspirasi politik tidak pernah berhenti dan tidak bisa digantikan oleh janji-janji kesejahteraan dari Jakarta. Bambang Darmono, seorang purnawirawan Jenderal mantan koordinator UP4B untuk Papua, cukup jujur mengakui bahwa yang dikehendaki orang Papua adalah kebebasan.

Kita mesti membuka pembicaraan tentang penjajahan Indonesia atas Papua dan rasisme struktural yang mengiringinya. Setuju maupun tidak terhadap posisi ini, titik berangkat yang sulit ditolak adalah fakta bahwa orang Papua sejak awal tidak merasa senasib sepenanggungan dengan rakyat Indonesia lainnya. Terimalah ini dengan lapang dada.

Pergerakan membangun Indonesia sebagai sebuah bangsa, tidak meliputi bangsa Papua. Seluas apapun wilayah Indonesia di dalam bayangan dan perjuangan Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan Soekarno tidak berhasil membuat bangsa Papua merasa senasib, walau sama-sama di bawah jajahan Belanda. Sekeras apapun Soeharto meluluhlantakkan kehendak merdeka bangsa Papua, sehalus atau selicin apapun pemerintah pasca Soeharto mengambil hati Papua, tidak berhasil membuat negara ini menjadi rumah bersama bagi orang Papua.

Apakah semua orang Papua merasa seperti itu? Yang pasti orang-orang yang mendapat untung dan keistimewaan dari proses integrasi tidak akan sependapat. Pertanyaan yang sama bisa dikembalikan juga pada kita: apakahsemua orang Hindia Belanda merasa senasib sepenanggungan sebelum pergerakan nasional untuk kemerdekaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun