Pater Paulus, Guru Bahasa Latin
Oleh: Zefirinus Kada Lewoema
Di sebuah sudut Seminari San Dominggo di Hokeng, ada seorang guru yang tak sekadar mengajarkan bahasa Latin, tapi juga menanamkan cinta kepada kata, kalimat, dan makna kehidupan. Namanya Pater Paulus Boli Lamak, imam, ahli bahasa, pejalan lintas benua, dan humoris sejati. Semua civitas Seminari San Dominggo di Hokeng menaruh hormat padanya; beliau adalah siswa angkatan pertama, saksi hidup ketika Seminari San Dominggo diresmikan pada 15 Agustus 1950 oleh Pater H. Van Eijk, SVD dalam sebuah misa syukur di Kapela PT. Renha Rosari Larantuka di Hokeng.
Tak semua guru mampu menjadikan bahasa mati terasa hidup di benak para seminaris. Tapi Pater Paulus berhasil. Di tangannya, Latin bukan sekadar pelajaran, tapi pintu menuju dunia yang lebih luas: ke Roma, Jerusalem, Amsterdam, Afrika, Amerika, juga Bali, yang katanya "tidak se-Eropa yang kalian bayangkan."
"Mitere," katanya suatu pagi sambil menulis dengan kapur rapuh. "Artinya: mengirim. Dari sini lahir kata mission, missionarius. Kalian semua ini juga missionarii, utusan, mewakili keluarga kalian, membawa cahaya."
Kami mengangguk, paham dan terpukau dengan cara beliau menguliti kata-kata seperti orang membelah kelapa muda. Airnya segar, dagingnya manis. Begitulah rasanya pelajaran Latin bersama beliau.
"Sekarang," lanjutnya sambil menulis audire. "Artinya mendengar. Maka lahirlah kata audience, audiensi, audio. Belajar bukan cuma soal bicara, tapi terutama mendengarkan. Dia yang tak tahu mendengarkan, tak akan bisa berbicara dengan baik."Â Kami pun bertepuk tangan. Di kelas? Tak biasa. Tapi bersama beliau, ruang kelas terasa seperti panggung kecil yang menghidupkan semuanya.
Beliau dikenal karena humornya yang halus dan menyenangkan. Suatu hari, saat seorang teman tertidur dalam kapela, Pater Paulus mendekat perlahan dan berkata dengan nada berat, meniru gaya Paus Benediktus XVI: "Dormire est sacramentum tacitum... Tidur itu sakramen diam-diam, anak-anak. Tapi hanya sah kalau setelah misa pagi."Tawa meledak. Teman kami hanya tertawa malu dan segera duduk tegak.
Pater Paulus bukan hanya pencinta kata, ia juga pengelana. Dunia telah ia tapaki. Eropa bukan sekadar lokasi baginya, tapi bagian dari ingatan dan ceritanya. Dalam pelajaran, sering ia menyelipkan kisah perjalanan:
"Pernah di stasiun Munich saya mencari-cari jadwal kereta ke Roma. Tak ada yang bisa saya tanya. Tapi syukurlah, ada seorang nenek yang mengerti Latin. Saya bilang: Auxilium! Erravi! Tolong, saya tersesat!"
Atau kisah makan malam di Vatikan: "Bayangkan, saya duduk bersama imam dari China dan Jepang. Kemampuan berbahasa Inggris mereka sangat terbatas. Kami pun berkomunikasi lewat Latin dan gerakan tangan. Saya bilang: Panem habes? - Ada roti? mereka jawab: Sed non vinum - Tapi tak ada anggur. Kami tertawa sampai kenyang."