Tawanya pun khas: setengah pelan, hangat, menular. Dan di setiap cerita, selalu ada pelajaran yang membekas.
Tapi kenangan tentang beliau bukan hanya tentang cerita dan tawa. Ada kekaguman mendalam atas cara hidupnya. Beliau nyaris tak pernah mengeluh sakit. Bahkan saat lututnya melemah, ia tetap hadir di kelas dengan senyum.
"Tubuh ini boleh lelah," ujarnya sambil menepuk bukunya, "Tapi pikiran ini masih ingin bermain."
Kami tahu, kami sedang belajar dari seorang guru sejati, bukan hanya dalam linguistik, tetapi dalam ketabahan dan kerendahan hati.
Di ruang makan, nama beliau kerap disebut dengan hormat. Kadang kami saling melempar teka-teki Latin:
"Apa bahasa Latin untuk 'aku lapar'?"
"Esurio!"
"Kalau sangat lapar?"
"Esurio mortem! - Aku lapar sampai mati!"
Dan kami tertawa seperti ada lelucon khusus di balik kata-kata itu, hanya kami yang paham, anak-anak Pater Paulus.
Kini, dari cerita seorang kawan yang dosen di Ledalero, Pater Paulus telah pergi ke Biara Serikat Sabda Allah, berdiam di sana karena Seminari San Dominggo telah "sepakat" berpisah dengan Gunung Lewotobi. Tubuhnya mungkin melemah dan suaranya kian pelan. Tapi kenangan tentangnya tetap kuat di hati kami. Ia pernah mengutip: