Di antara pegunungan yang melingkari Hokeng, sebuah tempat suci berdiri dengan hening dan agung, Seminari San Dominggo. Di sanalah, generasi demi generasi ditempa menjadi imam, guru, pemimpin rohani. Namun, di antara buku-buku teologi, lonceng doa, dan semerbak dupa liturgi, ada sebuah kisah kecil yang tak tertulis dalam kurikulum, tetapi tertanam kuat dalam hati banyak orang. Kisah itu bermula dari sekilo biji mente dan seorang remaja dengan baju compang-camping.
Adalah Pater Salomon, seorang imam Serikat Sabda Allah yang tubuhnya kurus, wajahnya teduh, matanya tajam tapi lembut. Selain sebagai pengajar di seminari, tapi juga seorang penanam benih iman, kasih, pengertian, dan keberpihakan pada yang lemah. Mereka yang pernah mengenalnya tahu, di balik jubah putihnya, berdenyut hati seorang ayah.
Suatu siang yang tenang di Seminari San Dominggo, seorang anak remaja datang dengan langkah ragu. Ia bukan siswa di sana, melainkan tamu yang membawa satu-satunya harapan dalam kantong plastik lusuh: satu kilogram biji jambu mente dari kampung. Tiba di ruang tamu, ia hampir tak berani duduk. Dipandangi gedung itu dengan cemas dan kagum, takut tapi juga berharap. Wajahnya keringat, matanya mencari-cari seseorang.
Pater Salomon, orang pertama yang menyapanya.
"Cari siapa, anakku?"
"Saya... saya cari kakak. Dia sekolah di sini."
"Kau bawa apa itu?"
"Ini... biji mente. Saya mau jual di pasar Boru. Uangnya buat kakak. Ibu sakit... Ayah baru saja meninggal... panen gagal... uang belum dikirim."
Kalimat itu keluar patah-patah, suaranya lirih, tangannya gemetar. Dia takut ditolak, mungkin karena tahu biji mente itu takkan cukup untuk apa pun.
Pater Salomon tak langsung menjawab. Mempersilakan anak itu duduk. Ia menawarkan air minum. Ia ajak anak itu bicara, bukan sebagai tamu yang mengganggu kesunyian biara, tetapi sebagai manusia kecil yang sedang berjuang melampaui nasibnya.
Jam istirahat tiba. Seorang seminaris keluar dari kelas. Ia tertegun melihat adiknya berdiri kikuk di sudut bangunan. Wajahnya seketika pias. Pater Salomon yang masih duduk di samping sang adik, mengangkat kantong plastik kecil itu tinggi-tinggi.