Mohon tunggu...
Eka Kurnia Chrislianto
Eka Kurnia Chrislianto Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Advocate, Lawyer, Legal Consultant, Corporate Lawyer, Civil Law Lawyer, Land and Property Law, Marital, Divorce Dissolutions, and Inheritance Law, Criminal Law, etc. Kunjungi juga: https://kumparan.com/eren-jager dan https://zefilosofi.medium.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Melihat Sampai ke Akar Permasalahan antara Wanprestasi dan Penipuan

15 Oktober 2021   11:52 Diperbarui: 15 Oktober 2021   11:58 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembuatan Kontrak atau Perjanjian, Sumber: Pexels/Rodnae Production.

Asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat- syarat sahnya perjanjian dalam KUHPer. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata antara lain: (Salim H.S., 2015)

  1. Kesepakatan, mereka yang mengikatkan dirinya. Atau sederhananya kesepatakatan para pihak. Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud). Secara a contrario, berdasarkan pasal 1321 KUHPerdata dan lebih lanjut dalam Pasal 1328 KUHPerdata, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau kecakapan para pihak. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang, contohnya anak di bawah umur atau mereka yang dengan gangguan kejiwaan.
  3. Suatu pokok persoalaan tertentu. Persolaan tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Menurut pasal 1333 KUHPerdata, objek perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.
  4. Suatu sebab yang tidak dilarang atau biasa dikenal dengan suatu sebab yang halal. Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam pasal 1337 KUHPerdata.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata syarat sahnya perjanjian tersebut dibagi lagi menjadi dua yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.

  • Kesepakatan para pihak dalam perjanjian;
  • Kecakapan para pihak dalam perjanjian.

Ini disebut juga syarat subjektif suatu perjanjian yang sah menurut hukum. Sedangkan,

  • Suatu hal tertentu;
  • Sebab yang halal.

Disebut sebagai syarat objektif suatu perjanjian yang sah menurut hukum.

Lantas bagaimana dengan Istilah “Penipuan” sebagaimana yang ada dalam Pasal 1328 KUHPerdata yang berbunyi demikian:

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.”

Ini bersesuaian berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2986 K/Pdt/2013 tertanggal 11 Maret 2014 menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan (terlebih dahulu), yang dalam hal ini diartikan harus ada putusan pidana terlebih dahulu. Barulah dapat suatu kesepakatan tersebut dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Jadi, penipuan itu tidak serta merta berdasarkan dugaan.

Kemudian, terkait kecakapan para pihak merupakan salah satu syarat subjektif dari sahnya perjanjian, dan yang termasuk tidak cakap oleh KUHPer adalah orang-orang yang  belum cukup umur, orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tertanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Menurut Pasal 330 KUHPerdata yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian. (Diana Kusumasari, 2011)

Suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

Setelah mengetahui itu semua, dan apa itu perjanjian selanjutnya mengenai Wanprestasi yang menjadi pokok pembahasan di sini ialah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:

“penggatian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukan hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun