“Kalau diare itu biasa ji,” kata seorang ibu di Tallo, Makassar. Ucapannya terdengar ringan, tapi di balik itu ada kenyataan pahit: sakit sudah jadi bagian dari rutinitas hidup mereka.
Makassar mungkin terkenal dengan Pantai Losari, coto, atau pisang epe. Tapi di balik semua keindahan itu, ada sisi lain yang jarang tersorot. Di Tallo, rumah-rumah banyak berdiri di atas tiang kayu yang sudah rapuh. Bukan di atas tanah kering, tapi di atas genangan air keruh penuh sampah. Saat hujan turun, air meluap membawa kotoran dari berbagai penjuru. Banjir ini bukan cuma merendam rumah, tapi juga mengantar penyakit yang siap menyerang kapan saja (Rakyat Sulsel, 2024).
Air yang Membawa Penyakit
Air biasanya jadi sumber kehidupan. Tapi buat sebagian warga Tallo, air justru sering jadi jalan masuk penyakit. Anak-anak di sana kerap main di genangan banjir tanpa alas kaki. Dari situlah berbagai penyakit bisa datang: mulai dari diare, infeksi kulit, sampai cacingan.
Pernah ada kasus seorang anak yang cacingnya keluar lewat hidung. Cerita itu terdengar mengerikan, tapi begitulah kenyataan yang harus dihadapi.
Berdasarkan hasil pemetaan penyakit berpotensi KLB berdasarkan SKDR periode semester I (minggu ke 1 s/d 24) di Provinsi Sulawesi Selatan, diketahui bahwa diare akut adalah penyakit terbanyak, dengan total 39.452 kasus. Kota Makassar menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak, yaitu 4.611 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2025). Kondisi ini diperburuk dengan akses air bersih yang terbatas, terutama di wilayah Tallo (Mongabay, 2024).
Masalah ini bukan cuma soal kebiasaan, tapi juga soal lingkungan yang jauh dari kata sehat. Akses air bersih terbatas, sanitasi rumah tangga juga belum memadai. Kondisi ini bikin tubuh anak-anak jadi lebih rentan, dan penyakit pun mudah menyerang.
TBC: Penyakit Lama yang Tak Kunjung Hilang
Selain banjir, warga Tallo juga masih harus berhadapan dengan Tuberkulosis (TBC). Penyakit ini menular lewat udara dan sampai sekarang masih jadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Seorang ibu di sana cerita kalau anaknya sudah berobat TBC selama enam bulan. Tapi ketika waktunya kontrol terakhir, mereka tidak datang lagi. Alasannya, sang ibu merasa anaknya sudah sehat, jadi dirasa tidak perlu melanjutkan pemeriksaan.
Padahal, meski obatnya gratis, ada banyak hal lain yang jadi beban: ongkos ke puskesmas, sampai kebutuhan sehari-hari di rumah. Buat keluarga dengan penghasilan pas-pasan, memastikan dapur tetap ngebul kadang terasa lebih penting daripada menuntaskan pengobatan. Jadi, keputusan berhenti berobat bukan semata karena malas, tapi karena mereka harus memilih prioritas di tengah kondisi hidup yang serba sulit.