"Mungkin baru belajar, Bang. Jadi, gadis itu gugup ketika palang pintu kereta api tiba-tiba turun. Mesin motornya mendadak mati. Persis di tengah rel."
Badri berhenti sejenak. Meraih gelas berkopi di hadapannya. Mencecap tuntas isi gelas. Tangan kanannya mengusap sudut bibir yang ditumpangi ampas kopi, seraya melanjutkan kisahnya.
"Gadis itu tampak panik. Anehnya, selain aku, tak ada seorang pun yang bergerak. Aku langsung berlari mendekati gadis itu. Tapi aku terlambat."
Wajah Badri tertekuk murung. Agaknya tak ingin mengingat ulang tayangan mimpi malam tadi.
"Gadis itu dilindas kereta api?"
Sebuah pertanyaan bodoh terlanjur kuajukan. Agar cerita mimpi itu segera diselesaikan. Badri menatapku tajam.
"Tidak. Setelah aku mendekat, motor itu bisa kembali menyala. Gadis itu berhasil lolos dari maut."
"Oh, syukurlah!"
Akupun tiba-tiba merasa lega. Mimpi Badri hari ini, tidak berakhir tragis. Kureguk isi gelasku sambil menatap Badri.
"Tapi aku yang mati, Bang!"
"Hah?"
"Saat kereta api mendekat, sandalku tersangkut besi penahan rel kereta. Aku terjatuh. Dan..."
Badri bungkam. Tak ingin menyelesaikan kalimatnya. Aku menghirup nafas dalam. Terkejut pada akhir tak terduga dari kisah Badri. Walau itu sebatas mimpi.