Dalam kenikmatan secangkir kopi, ia merupakan terminal dari rasa manis dan rasa pahit.
Begitupun senja. Ia dianggap sebagai momen istimewa, sebagai muara pisah sambut antara siang dan malam.
Peristiwa kimia dalam secangkir kopi, dan prosesi alam yang tersaji pada senja, begitu mudah didapati dan dinikmati. Padahal merupakan penyatuan dua unsur yang berbeda.
Dimensi itu, tak bisa dengan gamblang diraih. Saat menyatukan kata silaturahmi dan pandemi.
Dilema antara Silaturahmi Vs Pandemi
Dua hal ini menurutku, berbeda dan saling bertentangan pada tujuan. Apalagi dalam nuansa idul fitri, khususnya dua tahun terakhir.
Silaturahmi menagih sikap dan perilaku untuk merekatkan kasih sayang. Kalau bisa memperpendek jarak. Yang jauh mendekat, yang dekat merapat. Bahkan tak bersekat.
Tradisi di kampungku, jika tak saling bertatap muka, tak bertukar salam atau tak saling berkunjung. Dianggap tidak sah dan tidak lebaran jika belum melakukan itu. Tapi, dulu.
Sebaliknya, di masa Pandemi malah menuntut bahkan memaksa setiap individu untuk menjaga jarak serta meminimalkan kontak fisik. Jika pun berinteraksi masih terbatas, menggunakan masker dan tak bisa bebas.
Ancaman covid19 yang nyata di depan mata, membuat kita mesti beradaptasi dalam perilaku juga gaya hidup. Terkadang, ragu bertukar sapa, gegara masker menutupi wajah nyaris di semua area.
Momentum khusus pada Idul Fitri, membuat orang-orang melakukan pilihan keputusan-keputusan yang sulit. Terkadang, menghadirkan risiko-risiko yang pahit hingga rasa sakit.