"Kau di mana?"
Aku terlupa berhitung. Berapa kali mengajukan pertanyaan ini. Atau, kepada siapa lagi?
Tanyaku seperti desau angin yang memeluk rerimbunan pohon jati. Tak terlihat, tapi mampu meluruhkan satu-persatu dedaunan kering ke bumi. Hanya sebagai tanda. Ada, tapi tak mampu disapa mata.
Tiga catatan kecil ini, kuharap menjadi jejak perjalananku. Tersesat memeluk rindu yang tak lelah bersembunyi, di antara detak waktu yang terus berlalu. Sebelum rinduku usang dipasung batas waktu.
Di sanubari, telah terpatri. Kau ayahku. Namun, adalah sia-sia, kembali menanti sebuah jawaban. Untuk sebuah pertanyaan yang tersia.
"Maukah, Kau?"
*
Ini, bukan tentang air mata.
Aku hanya ingin menulis tentang mata ibu. Sebab kedua mata ibu, sudah menjadi mata air mata yang tak mungkin dihentikan waktu. Mata yang tak mengenal musim kemarau. Tatapan mata yang teduh, walau langit berkali seakan runtuh.
"Kau seperti ayahmu!"
Mata ibu menuangkan rasa asing. Ucapan ibu terlontar, saat aku tak mau membawa payung. Usai hari-hari menawarkan mendung, dan langit tak lagi menjadi tempat berlindung. Tak mampu menghadang terjangan butiran hujan.