Luarbiasanya negara Indonesia, beberapa daerah memiliki sebutan khusus untuk menyatakan marga atau suku yang melekat pada nama seseorang. Semisal Sumatera Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan atau Bali. Itu juga bisa digunakan sebagai panduan sapaan.
Keempat. Latar Profesi.
Ini dipisah jadi pekerjaan formal atau nonformal. Kalau yang kerjanya di instansi resmi biasanya lebih pada sapaan yang sudah standar digunakan. Pak Presiden, Bu Menteri, Pak Rektor, Bu Dekan, Pak Kapolres atau Ibu Kepala sekolah.
Kalau nonformal? Bebas! Aku belum pernah mendengar para pemusik atau pemain film disapa "Tis" kependekan dari artis. Beberapa penulis fiksi yang layak dijuluki sastrawan atau pujangga, terkadang enggan dengan julukan itu. Bahkan meminta dipanggil nama saja. Tanpa embel-embel!
Kelima. Silsilah Keluarga atau Kedekatan.
Jika pada keluarga inti (keluarga bati), sapaan sudah diatur berdasarkan adat istiadat yang menjadi kiblat dan mengikat, tah? Bisa berdasarkan garis keturunan (Ius sanguinus) atau berdasarkan tepat domisili (ius soli).
Namun, alasan kedekatan hubungan, juga bisa mengubah sapaan untuk seseorang. Misal? Awalnya hanya panggil "nama". Tak lama berubah menjadi "Abang, Mas, Uda atau Kakak". Terus, berubah lagi jadi "Yang". Â Akhirnya menjadi "Yah"! Eh, ada yang begitu, kan?
Keenam. Menjadi Makmum.
Artinya, sapaan itu mengikuti orang lain! Nah, ini juga berpengaruh besar. Belum begitu kenal  atau udah terlanjur nyaman. Maka sapaan awal yang didengar dari orang lain diikuti. Terus saja diikuti.
Di Kompasiana, kugunakan rumus ini. Awalnya, kusapa Pak Felix Tani dan Bang Pebrinov, akhirnya ikut arus Kompasianers yang panggil Prof! Sebaliknya, setelah tahu berasal dari Makassar, Mas Khrisna Pabichara kuganti Daeng. Â Aku lebih nyaman dengan sapan itu.
Ketujuh. Faktor X.