Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Gempa di Bengkulu dan 3 Hal Sederhana yang Bisa Dilakukan Setiap Keluarga

19 Agustus 2020   18:59 Diperbarui: 16 Januari 2022   06:41 1855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dampak gempa (sumber gambar : MAST IRHAM/EPA via regional.kompas.com)

Usai subuh tadi. Dua kali orang-orang di Bengkulu termasuk tempat tinggalku di Curup (Ibukota Kabupaten Rejang Lebong), merasakan gempa dengan selisih waktu kurang dari 5 menit. Hasil rilis BMKG Gempa itu berskala 6,9 SR dan 6,8 SR. (Rabu,19/08/2020).

Namun gempa tak lagi asing bagi penduduk Bengkulu. Karena posisinya yang tepat berada di atas zona subduksi antar Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia.

Gempa Bengkulu yang terdahsyat, terjadi 12 tahun lalu. Tanggal 12 september 2007 dengan magnitude 8,4 SR dan 13 september 2007 di angka 7,8 SR. Lokasi terparah di Lais,Bengkulu Utara. Selain menghancurkan hunian, juga merenggut jiwa 25 orang. (baca di sini) 

Apatah lagi, Kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiang juga memiliki dua potensi "perusak tersembunyi" yang bisa memperparah keadaan jika terjadi gempa. Hal itu tercatat dalam alur sejarah gempa Curup dan Kepahiang

Pertama. "Patahan Semangko" (Sesar Musi) di Daspetah (Sekarang wilayah Kepahiang) menjadi episentrum gempa tanggal 15 Desember 1979. Gempa darat ini, menghancurkan lebih dari 3000 rumah dan 4 korban Jiwa. (Baca di sini)

Kedua. Dua Gunung Api, Bukit Kaba (1937 Mdpl. Tipe-A) memiliki dua kawah yang sangat aktif, Serta Bukit Daun (2467 Mdpl. Tipe-B) yang memiliki 7 telaga dengan warna berbeda. Berbeda dengan Bukit Kaba yang mudah di akses, Bukit Daun masih "tertutup".

Gempa Tak Hanya Bicara Getaran, Ia Lebih Mirip Gurita!

Secara teori dalam banyak literasi, gempa bisa mengakibatkan tsunami, tanah longsor, banjir juga kebakaran. Getarannya yang tektonik juga bisa memicu letusan gunung api yang dikenal dengan sebutan getaran vulkanik.

Dampak lain? Jika terjadi gempa dahsyat, tak lagi bicara tentang kehancuran tempat tinggal atau jumlah korban yang meninggal. Bencana gempa bisa menyebabkan krisis kesehatan, krisis pangan hingga krisis hunian.

Akumulasi ketiga krisis itu bisa saja memicu konflik sosial. Akan ada tersaji fenomena rebutan obat-obatan, rebutan makanan, juga rebutan bantuan. Semua yang terdampak Ingin cepat dan tepat. Serta merasa paling layak dan paling berhak.

Ujungnya? Akan hadir krisis sosial. Baik secara horizontal maupun vertikal. Aih, teman-teman relawan pasti menemukan kondisi dan situasi seperti ini di lapangan.

Kata gempa bisa meluaskan sentuhan pada segala aspek kehidupan. Takut? Jangan. Waspada? Harus!

Hingga saat ini, gempa belum ada rumus pencegahannya. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisir resiko dan dampak kerusakan yang mungkin ditimbulkan. Dan itu bisa dimulai dari keluarga kita.

Ilustrasi keluarga bisa menjadi sumber belajar bencana (sumber gambar :ayocerdas.com)
Ilustrasi keluarga bisa menjadi sumber belajar bencana (sumber gambar :ayocerdas.com)
Apa yang bisa dilakukan?

Bagian terkecil dari masyarakat adalah keluarga. Sesungguhnya, setiap keluarga memiliki kemampuan untuk melakukan pengurangan resiko bencana gempa. Sejak dini dan secara sederhana. Aku tulis, ya?

Pertama. Kenali Gempa.

Ini langkah utama. Tak harus menunggu pelatihan dan pendidikan khusus bencana. Efektifitas dan efisiensi media dalam literasi terkait bencana gempa bisa dimanfaatkan. Bacaan literatur dan video tentang gempa, saat ini begitu mudah diakses.

Hematku, ada baiknya sisakan waktu untuk lakukan itu. Apatah lagi, jika memiliki anak-anak usia balita atau usia senja sebagai objek yang rentan jika terjadi gempa. Kukira, menambah wawasan tentang gempa sambil rebahan juga bisa.

Kedua. Kenali Rumah dan Lingkungan Sekitar

Ini penting! Seberapa detail kita mengenal rumah? Misal, tahu dinding rumah yang retak, pintu kamar yang rusak atau pohon tua di sekitar rumah yang lapuk. Jika gempa, bisa memilih tempat perlindungan yang paling aman.

Ukuran kenal rumah? Saat malam hari dan mati lampu. Kita bebas berjalan di dalam rumah tanpa tersandung kursi atau kepala kejedot pintu.

Jika mau, bisa juga membuat peta rumah sederhana. Tentukan lokasi aman dan tidak aman di rumah bersama anggota keluarga. Lebih bagus lagi jika merambah daerah sekitar RT, RW hingga Kelurahan. Jadi, jika terjadi bencana, semua mengerti di mana harus berada.

Jepang memiliki satu hari khusus untuk simulasi nasional bencana setiap tahun. Semua orang terlibat dan melibatkan diri untuk keselamatan bersama. Indonesia? Dulu pernah ada. Bersifat lokal dan seremonial. Hiks..

simulasi gempa di sekolah (sumber gambar : sultra.antaranews.com)
simulasi gempa di sekolah (sumber gambar : sultra.antaranews.com)
Ketiga. Bersikap Tenang.

Ini jamak terjadi. Banyak orang yang karena panik, akhirnya teriak-teriak bahkan berlarian tak tentu arah. Dampaknya? Malah mengajak orang lain menjadi panik berjamaah.

Bersikap tenang, memang tidak bisa otomatis, kan? Namun jika setiap orang tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa. Maka ketenangan akan menular pada orang sekitar.

Contoh paling gampang? Coba masukkan tali ke lubang jarum karung sambil teriak. Ingat jarum karung itu besarkan? Namun jika sambil teriak, hal itu menjadi tak mudah. Sebaliknya, jika tenang, benang jahit yang halus bisa dengan sangat mudah dimasukkan ke lobang jarum yang kecil. Iya, tah?

Lah, kalau tenang semua pasti bisa, Bro! Itu betul! Karena kita semua tahu, saat memasukkan benang itu harus tenang. Bukan teriak-teriak! Iya, kan?

ilustrasi ayah dan anak (sumber gambar : pixabay.com)
ilustrasi ayah dan anak (sumber gambar : pixabay.com)
Akhirnya...

Karena gempa adalah fenomena alam. Yang hanya bisa dipelajari dari gejala. Kapan dan di mana posisinya, masih menjadi rahasia. Kukira, tiga hal sederhana yang bisa dilakukan oleh setiap keluarga itu, menjadi salah satu usaha untuk mengurangi dampak bencana.

Jika sudah melakukan itu, sisanya baru berserah pada Tuhan. Setuju, kan?

Jadi? Boleh santai, asal tak abai!


Curup, 19.08.2020

zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun