Keceriaan dan keisengan itu, akan segera "menyusut" jika sudah bertamu ke rumah guru. Bertukar salam, meminta maaf, kemudian duduk tertib serta malu-malu saat ditawari makan kue!
Terus, coba aja semisal guru, yang mengajak beberapa murid perempuan ke dapur menyiapkan minuman? (Masa itu belum ada air kemasan plastik atau kaleng. Jika disajikan the hangat atau sirup, mesti diracik dulu)
Maka akan terlihat kegesitan dan kecepatan semua anak, terburu-buru menyantap kue yang tersaji, tanpa terlihat guru. Kemudian saat guru kembali, pura-pura gak tahu, atau malah akan saling tuduh! Haha..
Terkadang, ada juga yang iseng mengantongi kue, ada juga malu-malu tapi mau, saat ditawari guru agar kue dibawa pulang! Biasanya, pasti mau! Lumayan buat menambah bekal saat acara bersama satu kelas di akhir perjalanan, kan?
Begitu terus pada setiap rumah guru. Kenakalan dan keisengan itu akan berlanjut, hingga acara terakhir. Terus berlebaran satu kelas, akan selesai sebelum waktu maghrib!
Percayalah! Jika aku ingat sekarang, ternyata menjalankan tradisi berlebaran ke rumah guru itu, menyimpan banyak nilai-nilai kehidupan sosial yang disadari setelah beranjak tua. Hiks..
Pertama. Berkunjung ke rumah guru adalah cara menghormati.
Tanpa sadar, tradisi itu menjadi cara belajar menghormati dan menghargai guru. Bukan saja guru terdekat, namun semua guru! Bayangkan jika itu dilakukan rutin setiap tahun? Selain itu, ikatan emosional guru-siswa menjadi lebih erat.
Kedua. Berlatih Berorganisasi
Bayangkan saja, anak-anak satu kelas, berisi 20-30 siswa, bisa menyusun rute perencanaan bersama? Adakah perdebatan? Pasti ada! Namun "mengalah", ketika untuk kepentingan warga satu kelas, kan?