Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mas Nadiem, Anakku seperti Atlet Olimpiade yang Gagal Tampil!

24 Maret 2020   12:38 Diperbarui: 25 Maret 2020   17:20 3143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : nasional.kompas.com/

"Uni...! UN gak jadi!"

"Hah?"

"Baca ini, Nakdis!"

Anak gadisku, kelas 6 SD. Tekun membaca salah satu situs berita online. Tentang kesepakatan DPR dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meniadakan Ujian Nasional, untuk melindungi siswa dari Covid-19.

Antusiasku pupus saat melihat reaksi anakku. Tak ada gurat senang karena terbebas dari beban. Tak ada ungkapan bahagia atau teriak menghempaskan tekanan. Tak ada!

"Masuk SMP itu, syaratnya nilai UN, Yah?"

"Pakai nilai ijazah, Nak!"

"Padahal Uni..."

Aih, mengalirlah deretan kisah gadisku. Seakan mengulang kejadian dari awal naik ke kelas 6 dulu. Aku berusaha memahami lontaran peluru itu. Aku ceritakan saja, ya?

sumber foto : www.kanalkalimantan.com/
sumber foto : www.kanalkalimantan.com/
Nyaris Setiap Hari Terdengar Kalimat "Persiapkan Diri dan Belajar!"

Sekolah anakku memakai konsep full day school. Hari Senin-Kamis, kegiatan belajar sampai pukul 4 sore (sesudah ashar). Hari Jum'at pulang pukul 2. Hari Sabtu, khusus ekstrakurikuler, sampai pukul 10.

Karena kelas 6, selain belajar seperti biasa dari hari Senin hingga Kamis. Pada hari Jum'at ditambah satu jam untuk pelajaran tambahan. Hari Sabtu, eskul diganti dengan kegiatan happy learning. Dan pelajaran tambahan hingga jam 3 sore. Kebayang, kan?

Jadi, yang benar-benar libur hari Minggu! Itupun jika guru di sekolah tidak memberikan tugas di rumah (PR) untuk mata pelajaran di hari Senin. Jika ada, anakku antara libur dan tak libur, kan?

Tak hanya itu. Nyaris selama 6 bulan belakangan ini, jadwal anak gadisku "padat merayap". Setiap akhir bulan "berkelahi" dengan bahasan soal-soal, saat mengikuti beragam try out. Baik yang diadakan oleh sekolah, bermacam SMP di Curup, juga pihak ketiga (lembaga kursus).

Kegiatan tersebut, ada yang "dimobilisasi" oleh pihak sekolah, "rekanan" sekolah. ada juga yang merupakan inisiatif anakku sendiri untuk ikut. Selain, setiap hari berjibaku membahas buku panduan USBN secara mandiri.

Sebagai orangtua, tugasku memastikan untuk mengawal dan mengawasi anakku. Mengawal setiap langkah dan gerak geriknya (mengantarkan) ke mana pun ia pergi. Terkadang ke sekolah, ke rumah teman, atau ke tempat try out.

Mengawasi sisi mental dan psikologisnya. Bertanya ke wali kelas dan guru yang mengajar, berbincang dengan teman sekelasnya, untuk mencari tahu kalau anakku baik-baik saja. Hingga bersiap menjadi "truk sampah" dari beragam keluhan.

Eits, aku gak akan berhitung urusan materi, karena itu adalah kewajibanku sebagai orangtua, kan? Aku hanya memikirkan, bagaimana agar anakku siap menuju "titik pertempuran" terakhir di sekolah dasar.

Sumber foto : tirto.id/
Sumber foto : tirto.id/
Banyak Pihak yang "Menekan dan Tertekan"

Akhirnya, aku juga membayangkan siswa dan para orangtua yang sekolahnya lebih tinggi derajatnya, seperti SMP/MTs/ SMA/MA/SMK yang musti berhadapan dengan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).

Perjuangan siswa di sekolah mungkin saja menjalani hal yang nyaris sama seperti anakku. Namun bebannya lebih besar. Karena memiliki "target" melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi yang favorit dan terbaik. Sesuai impiannya.

Orangtua, membuat arena pertempuran sendiri. Membelikan laptop/gawai, membiarkan anaknya mengikuti berbagai les, berbagai kursus offline maupun online. Serta berbagai macam try out. Bohong, jika itu tak membutuhkan "asupan gizi" yang lebih banyak dan lebih besar.

Belum lagi guru mata pelajaran yang dianggap "paling bertanggung jawab" terhadap hasil akhir Ujian Nasional. Di antara kesibukan itu, juga berhadapan dengan tekanan yang berjenjang. Orangtua, kepala sekolah, dinas/instansi terkait, juga pengurus yayasan.

Muaranya, akan ada "perlombaan" pernyataan di akhir masa ujian. baik secara lisan maupun tulisan, di media media cetak maupun elektronik untuk meraih kepercayaan dan pengakuan. Dari atasan atau ruang publik.  

"Anak kami, meraih nilai tertinggi!"

"Sekolah ini adalah dengan rata-rata nilai..."

"Daerah kita, menjadi yang..."

"Di level Nasional dan Propinsi, tingkat kelulusan..."

Begitulah! Semua pihak akan mengerti dan memahami. Alasan logis pembatalan UN di semua jenjang pendidikan. Tak akan ada telunjuk yang bebas diarahkan! Tak mungkin menyigi, siapa saja pihak yang bersalah.

sumber foto : newsmaker.tribunnews.com/
sumber foto : newsmaker.tribunnews.com/
Akhirnya...

Dari kekecewaan anak gadisku. Mungkin juga dialami oleh banyak anak-anak yang lain di pelosok negeri. Aku hanya ingin berujar kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

"Mas Nadiem, anakku seperti atlet olimpiade yang gagal tampil!"

Sekian bulan bahkan bertahun menjalani pemusatan latihan, berkali melakukan latih tanding dan eksebisi. Mengorbankan apapun, agar bisa memberikan yang terbaik. Namun, selesai dengan satu kesepakatan di atas meja.

Ini bukan tentang sebab penghapusan atau pembatalan. Tapi, acapkali anak negeri dihadapkan dengan keputusan dan kebijakan di atas meja. Semoga, hanya kali ini saja.

Maafkanlah, kalau curhat lagi.

Hayuk salaman!

Curup, 24.03.2020
Zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun