Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Puisi Sedunia, Kamus Sunyi Perjalanan Imajinasi

21 Maret 2020   20:43 Diperbarui: 21 Maret 2020   20:44 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : https://www.tribunnews.com/lifestyle/

Mari simak karya-karya prestisius seperti puisi" Aku" karya Chairil Anwar, "Malu Aku jadi Orang Indonesia" karya Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri dengan "O Amuk Kapak", Sapardi Djoko Damono dengan "Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana". Atau "Kamus Kecil" karya Joko Pinurbo. Apa yang dirasakan?

Apatah kemudian, ketika puisi dimaknai sebagai media penyampai pesan, dengan diksi pilihan yang mewakili gagasan dan perasaan dari penulis. Dengan membaca dan menyimak ulang karya-karya di atas, kita sudah benar-benar memaknai?  

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Ceritaku...

Dua tahun terakhir, dengan beberapa teman, aku menggerakkan Komunitas Pohon Baca. Setiap malam minggu, akan menampilkan puisi di laman media sosial facebook. Dengan nama kegiatan #malammingguberpuisi.

Setiap minggunya, akan ada setidaknya 20 puisi yang dibagikan. Jadi, silakeun dihitung jika sudah berjalan dua tahun dengan rata-rata karya sejumlah itu, kan? Pesertanya? Siapapun yang ingin berbagi. Adakah imbalan? Tak ada!

Apa yang didapatkan? Pertemanan! Hanya itu? Iya! Itu baru yang pasti didapatkan. Kenapa memilih puisi? Setidaknya proses menulis puisi lebih singkat. Tanpa alur atau plot yang rumit. Tinggal temukan ide, tulis, enak dibaca dan bagikan. Selesai!

Namun benarkah hanya itu? Ternyata tidak! Kucuri hikmah saat mengajak mereka berdiskusi ringan tentang karya mereka. Aku tulis, ya? Ahaaay...

Pertama. Kebiasaan menulis puisi setiap malam minggu, memaksa mereka mencari dan menggali ide. Agar puisinya tak sama dengan minggu sebelumnya.

Kedua. Tanpa sadar, mereka diajak untuk membaca beragam karya orang lain. kemudian pelan-pelan membandingkan dengan karya sendiri. Yang menghasilkan peniliaian pribadi tentang kelebihan dan kekurangan dari masing-masing.

Ketiga. Pembiasaan "menulis dan membaca, atau membaca dan menulis" itu. Memancing mereka pada karya sastra yang lebih luas, tak hanya puisi, keuntungannya? Memacu dan memicu untuk bereksperimen dengan sajian atau pilihan diksi yang baru.

Keempat. Ini yang acapkali membuat jengah dan wajah merah. Jika kuminta mereka "membandingkan" puisi karya mereka diawal dulu dengan karya mereka yang terakhir. Tak perlu kutagih jawaban, akupun merasakan seperti mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun