Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Belajar di Rumah, Gaya Hidup Vs Budaya Hidup Digital serta Anekdot Romo YB Mangunwijaya

18 Maret 2020   21:40 Diperbarui: 18 Maret 2020   23:29 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : http://serenemaklong.blogspot.com/

"Yah! Soal nomor 7 sampai 10, belum dijelaskan ustadz!"

"Pusing, Pak! Ternyata orangtua lebih cerewet dari muridku!"

"Sepi! Sudah jam sepuluh, hanya ada satu penumpang, Bang!"

Ini tiga ungkapan pilihanku dari interaksi di hari kedua penerapan belajar online atau belajar di rumah. Sebagai antisipasi pandemi virus corona. Aku pribadi menyebutnya sebagai dampak "liburan" tanpa perencanaan.

Ungkapan pertama, dari anak gadisku. Saat pagi tadi membaca soal yang diberikan di WAG orangtua kelas 6. Cara yang dipilih, kukira tergantung "seberapa dekat" guru dengan teknologi informasi. Setidaknya ada tiga. Melalui narasi yang diketik biasa, mengirimkan foto dan melalui aplikasi.

Seperti hari pertama, belajar di rumah masih dimaknai dengan memberikan soal-soal latihan. Walau dibatasi maksimal 10 soal. Dan dikerjakan berdasarkan limit waktu tertentu. Kemudian hasilnya difoto dan dikirim ke guru mata pelajaran. jika satu hari ada 3 atau 4 mata pelajaran, maka semua akan begitu.

Bagaimana bila ada kasus seperti yang dialami anakku? Jika orangtua musti bekerja dan anak di rumah mengalami kesulitan seperti anakku? Pilihannya adalah belajar mandiri, bertanya dengan teman sekelas atau dengan guru, kan? Apakah solutif? Hiks...

Ungkapan kedua, dari teman-teman guru yang "curhat". Mulai dari siswa di rumah guru musti ke sekolah, hingga masih banyak guru yang gagap beradaptasi dan memahami konsep digital (virtual) dalam kegiatan belajar mengajar (Materi, penjelasan, evaluasi dan penilaian).

Saat merasakan itu, guru musti berhadapan dengan tekanan "atasan" tentang laporan jika sudah melakukan kegiatan tersebut setiap hari, plus menghadapi gelombang pertanyaan dari orangtua siswa yang merasa "harus lebih dulu mengerti" materi itu, sebelum diberikan kepada anaknya. Jadi, guru akhirnya juga mengajar orangtua.

Ungkapan ketiga. Dari temanku yang bekerja sebagai tukang ojek offline. Biasanya, setiap pagi ada 5 siswa yang diantar dan dijemput, dengan biaya 10 ribu setiap orang. Maka uang 50 ribu sudah pasti di tangan dalam satu hari. Pendapatan lainnya? Mencari penumpang acak di pangkalan.

Karena sistim harian. Maka dengan keadaan libur ini, pendapatan 50 ribu itu hilang. Ditambah lagi, isu itu membuat banyak orang menahan diri untuk keluar rumah. Aku membayangkan 12 hari lagi, keadaan itu musti dialami temanku yang memiliki istri dan dua orang anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun