Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menghapus Jejak Langkah

14 November 2019   13:56 Diperbarui: 14 November 2019   15:04 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Hujan mampu menghapus jejak langkah yang berdebu. Namun tak akan mampu menghilangkan perihnya rindu.

Kuletakkan kacamataku di atas meja. Lagi, dan berkali. Kuingat pesan terakhirmu. Membiarkan benakku tenggelam mengeja ulang bayangmu. Tergoda mengejar jarak pandang mataku. Melintasi kegelapan malam yang terhampar di luar jendela. Menembus keramaian rintik hujan, dan menyatu dengan kesunyiaan yang terdampar dalam genangan kenangan. Tentangmu.

***

"Nulis puisi, Mas?"

"Rencananya, cerpen! Malah blank!"

"Ngopi?"

"Boleh! Kalau ikhlas..."

Andini memeluk leherku dari belakang. Hanya sesaat. Kemudian lenyap dari ruang tamu. Kukira ke dapur.

"Mas! Gelas kecil aja, ya?"

"Gulanya habis?"

Tak ada jawaban. Satu gelas kecil, lengkap dengan tadah dan tutupnya, tersaji di atas meja.  Sambil menatap kertas putih kosong yang terjepit di mesin tik tua di hadapanku. Mata itu kemudian beralih ke wajahku. Segaris senyum dihadiahkan untukku. Tanpa aba-aba, kurasakan jejak yang hangat di keningku. Seperti terhipnotis, reaksiku terlambat!

"Aku tidur dulu, Mas!"

"Hei, Bumil! Kenapa di kening?"

Permintaan sia-sia! Kukira, sudah menjadi ritual wajib. Nyaris setiap malam. Adegan itu selalu berulang. Andini mengerti. Aku butuh ruang sepi untuk menyendiri. Belum pernah ada benih-benih perselisihan atau riak-riak pertengkaran karena itu. Memasuki tahun kedua perkawinan.

***

"Baik-baik saja, kan?"

Senyuman dan anggukkan perlahan adalah jawaban. Wajah lelah Andini terhampar jelas. Sore itu adalah pemeriksaan rutin, memasuki tujuh bulan usia kehamilan.

Hening menemani perjalanan pulang ke rumah. Tak bicara, Andini segera masuk ke kamar tidur. Membiarkanku memasukkan motor ke kamar tamu. Tiga tahun masa pacaran dan nyaris dua tahun perkawinan. Aku belajar banyak tentang perubahan sikap Andini. Termasuk sore itu.

Andini segera mengubah posisinya membelakangiku. Saat aku duduk di tempat tidur. Beberapa saat, kamar itu dikuasai hening. Tak ada reaksi lain. Hanya gerak perlahan dari bahu itu, bercerita banyak untukku.

"Gak sopan, pada suami berikan punggung!"

Berhasil! Perlahan, Andini berbalik badan. Kusaksikan bulir bening itu, betah bertamu di sudut matanya. Naluriku, mengajak jemari tangan kananku, mengusap linangan airmata itu. Namun aku tahu, tak mungkin menghentikan deras alirannya. Butuh waktu untuk itu.

***

"Ini! Rezeki debay!"

"Alhamdulillah!"

Wajah sumringah menyambutku. Kartu wesel, sudah berpindah tangan. Sekilas Andini menatap jumlah angka yang tertera. Dan, segera memelukku. Tangannya mengajak tanganku membelai perutnya yang semakin membesar.

"Limabelas ribu!"

"Wajib Bersyukur, Mas!"

"Iya! Hamdallah."  

***

Bagi para pujangga. Hujan bulan nopember, adalah panggilan jiwa. Yang mengajak imajinasi, mengembara menaklukkan keindahan bunyi tetesan air hujan dan dinginnya cuaca yang dihadirkan.

Namun bagi pasangan muda yang baru menjadi orangtua, adalah suatu ujian. Musim hujan adalah perjuangan. Menyiasati keterbatasan cahaya matahari, agar pakaian bayi segera kering dan dapat digunakan lagi.

Dan, di antara jeda-jeda perjuangan itu, ada ruang-ruang kosong yang terus diisi dengan kehangatan. Jeritan tangis bayi, dan jeritan hati. Mengikat dan merperkuat rasa dan asa dalam penjara suci. Cinta.

***

"Mas! Booksingning, sebentar lagi!"

"Iya!"

Kota ketujuh, dalam tiga bulan. Berliku jalan yang kulewati. Bertahun laju waktu yang kulalui. Hingga salah satu penerbit, tertarik mewujudkan impian terbesarku. Membidani lahirnya sebuah novel.

Tak kuhitung berapa kali, jemariku menggoreskan tandatangan dan namaku di sampul. Pun tak kuhiraukan aneka perhitungan keuntungan yang rumit dari terbitnya novel itu. Bagiku, kehadiran novel itu, adalah pengganti hadirmu. Bukan adamu.

Seperti di kota lain. Anggukan dan senyuman adalah jawaban terbaikku. Atas ribuan pertanyaan berulang. Dan segera menjadi  usang.

Malam ini. Di antara kerlip nyala lampu yang membiarkan sepi menemani. Rintik hujan, pun kembali mengajak pulang pertanyaan dan pernyataan orang-orang yang membaca kisah itu. Tentangmu.

"Ini, kisah nyata, kan?"

"Andini, Istri Mas, kan?"

"Anak kecil di sampul novel ini, anak Mas?"

"Kisah inspiratif, Mas!"

"Usianya sebelas tahun, kan? Kenapa tak ditulis nama anaknya?"

Curup, 14.11.2019

zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun