"Anak bukan butiran air, yang mampu dengan cepat beradaptasi pada aneka bentuk wadahnya".
Sebelumnya, terima kasih dariku untuk rekan-rekan Kompasianers juga Mas dan Mbak admin Kompasiana, tulisanku "Karena Harapan, Anak jadi Korban?", ternyata melahirkan diskusi hangat di media sosial milikku. Baik diskusi japri maupun melalui grup.
Salah satunya, faktor lingkungan sekitar. Atau biasa kusebut lingkungan sosial, serta pengaruhnya terhadap anak. Dan, aneka diskusi itu aku refleksikan dalam tulisan ini. Semoga berkenan, ya?
Berbicara tentang lingkungan, bagi seseorang termasuk anak-anak jadi unlimited! Gegara, apapun yang di luar diri seseorang adalah lingkungan.
Anak-anak, awalnya mengenal lingkungan keluarga sebagai tahapan pertama. Lingkungan sekolah untuk tahap kedua. Dan tahapan ketiga adalah lingkungan sosial, sebagai lahan terakhir "penanaman karakter" bagi anak. Nah, kali ini, aku membahas tentang anak dan lingkungan sosial.
Lingkungan sosial, idealnya sebagai arena pembuktian teoritis-praktis bagi anak, setelah melalui tahapan di lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Kemudian, menjadi sarana refleksi sikap, prilaku, kepribadian serta mengukur sistem nilai sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Sehingga, anak mampu memutuskan sendiri, apa yang baik dan buruk, benar dan salah, atau pantas dan tak pantas bagi dirinya juga orang-orang di sekitarnya.
Namun, tak semua anak memiliki kesempatan mengecap kehangatan sempurna lingkungan keluarga. Pun, tak semua anak mengecap sekolah yang menawarkan proses pembelajaran istimewa. Iya, kan?
Maka, lingkungan menjadi pilihan alternatif, agar anak memiliki karakter yang diinginkan. Benarkah begitu? Coba kita simak contoh berikut ini :