Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertempuran Sengit di Medan Full Day School

13 Juni 2017   07:34 Diperbarui: 13 Juni 2017   12:56 1728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Kompas.com

Untuk masalah sosial pendidikan, NU lebih mendorong jamaahnya untuk memiliki bidang sosial atau pendidikan secara mandiri. Pesantren yang menjadi lembaga paling penting bagi NU dengan segala derivasinya, di miliki jamaah NU dan menjadi salah satu kekuatan warga nahdliyah secara mandiri. Belakangan ini, NU sedang memperkuat sosial pendidikan yang organik-strukturak langsung ke NU semisal UNU dan rumah sakit NU.

Kedua, Muhammadiyah adalah organisasi modern dengan visi dan misi yang lebih jelas dan banyak diikuti oleh warga perkotaan. Organisasi ini adalah organisasi yang fokus kepada sosial-pendidikan dan keagamaan. Pengabdian kepada masyarakat tanpa lebih menekankan kepada ajaran adalah salah satu tujuan Muhammadiyah dalam perannya. Karena organisasi ini mayoritas diikuti oleh kalangan orang terdidik, maka mayoritas warganya lebih mengutamakan organisasi yang lebih maju dan tersistematiskan.

Walaupun warga Muhammadiyah memiliki lembaga sosial-pendidikan keagamaan secara mandiri, namun organisasi Muhammadiyah lebih membumi dari pada jamaahnya. Ini berbeda dengan NU. Dengan organisasi yang lebih modern dan terbuka, Muhammadiyah mengorganisir lembaga-lembaganya secara struktur langsung kepada Pengurus Muhammadiyah. 

Misal lembaga pendidikan, Sekolah dan universitas Muhammadiyah dikelola secara professional dan di bawah naungan Majelis Pendidikan Muhammadiyah. Ketika Muhammadiyah mengadopsi pesantren ala NU, Muhammadiyah pun membuat pesantren yang langsung dinamai pesantren Muhammadiyah. Yang lebih terkenal dari fokus sosial Muhammadiyah adalah pengelolaan rumah sakit Muhammadiyah yang lebih maju daripada NU.

Muhammadiyah memiliki core organisasi pada aksi sosial keagamaan dan sedikit menekankan ajaran. Fokus kepada aksi ini membuat Muhammadiyah lebih professional dalam bidang pengelolaan organisasi dan menjadi organisasi yang terbuka. Orang NU yang ingin pindah keormasannya, bisa memilih Muhammadiyah yang lebih dekat dan terbuka daripada kepada Persis, misalnya, yang lebih menekankan ajaran yang berbeda dengan NU (walaupun ada yang mirif dengan NU, misal PUI, NW, DDI).

Nah, untuk masalah pendidikan ala Muhammadiyah, maka organisasi ini memiliki dua model. Model pertama adalah model yang sama dengan model pemerintahan. Sejalan dengan perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah lah yang mendukung sistem persekolahan warisan Belanda untuk terus dijadikan sistem nasional pendidikan. 


Hal ini berbeda dengan NU yang lebih memilih sistem pesantren. Dalam perjalanannya, pertemuan dua sistem ini mengalami metamorfosis satu sama lainnya, Muhammadiyah mengadopsi pesantren, begitu juga NU mengadopsi persekolahan. Jadi bertemulah sistem FS dalam Muhammadiyah dan sebetulnya hadir juga di tubuh NU. Model perskolahan terintegrasi dengan peantren ini menjadi model kedua Muhammadiyah.

Lalu, kenapa NU menolak FS? Mari kita analisis. NU adalah organisasi yang dimodernkan dengan kultur sebagai massanya. Kultur inilah yang menyebabkan warga nahdliyah memiliki kemandirian penuh untuk mengabdi kepada agama melalui pembentukan lembaga-lembaga agama. Dengan jaringan luas pesantren NU yang menyebar, para alumninya sangat melebar dan dipastikan membuka majelis-majelis taklim di daerah asalnya. Dengan waktu yang panjang, maka alumni pesantren ini telah menancapkan kaki di setiap pelosok negeri.

Pengembangan majelis taklim yang dibawa alumni pesantren ini bisa menjadi pesantren, bisa juga mengembangkan Madrasah Diniyah (MD), bisa juga Taman Pendidikan Qur’an (TPQ). Biasanya mereka mendesain pendidikan agama sebagai pelengkap pendidikan anak setelah sekolah formal. Untuk beberapa kasus, para alumni pesantren juga mendirikan Madrasah (MI, MTs, MA) sebagai pendidikan formal, namun tetap mereka melestarikan MD sebagai pelajaran agama setelah persekolahan formal. Di samping itu juga, mereka menjejalkan pendidikan agama dengan adanya pengajian ba’da magrib dan ba’da subuh. Jadi pengajian berbasis agama lebih lengkap ketimbang umum dan para alumni pesantren ini tidak berharap materi (gaji duniawi) dalam pengabdian agamanya.

Dalam konteks ini, para alumni pesantren NU ini mendesain pendidikan agama lebih dari sekedar pendidikan yang dibatasi oleh 8 jam perhari (full days) tapi lebih dari sekedar 8 jam. Mari kita hitung. Bila di sekolah mulai 7 sampai jam 12 berarti ada 5 Jam sekolah. MD dilaksanakan jam 14.00 sampai asyar jam 16.00 berati 2 jam. 

Pengajian magrib mulai jam 18.00 sampai jam 20.00 berarti 2 jam dan TPQ ba’da subuh dimulai jam 5.00 pagi sampai jam 6.00, jadi ada 1 jam. Bila kita hitung maka pembelajaran tatap muka dengan guru adalah 5+2+2+1 sama dengan 10 jam. Itu belum dihitung interaksi belajar mereka dengan sesama siswa sebelum jam belajar formal. Sisa waktunya adalah interaksi anak dengan orang tua dan tidur. Jadi begitu panjangnya siswa kita belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun