Mohon tunggu...
MUHAMAD ZARKASIH
MUHAMAD ZARKASIH Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nakri Gelisah, Tiwi Pun Menangis

26 Februari 2021   16:32 Diperbarui: 26 Februari 2021   16:38 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini Nakri agak malas menenggak kopinya. Pikirannya terganggu oleh keributan tetangga kampungnya. Keributan yang berlangsung sejak semalam, yang bahkan membuat tidurnya kurang nyenyak. Maka segelas kopi dan beberapa potong pisang goreng tergeletak begitu saja diatas meja, tak tersentuh. Padahal kopi dan pisang goreng buatan Tiwi, isterinya, biasanya selalu jadi sesuatu yang paling ditunggu oleh Nakri setiap pagi.

Nakri sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri, kebingungan atas yang telah terjadi. Ia heran, kenapa dua orang ustad di kampungnya harus berselisih dengan ustad lain, seorang guru harus juga ribut dengan guru lain, hanya oleh sebuah sebab: petugas keamanan menahan Ojik. Padahal jelas secara kesepakatan kampung itu, Ojik telah melakukan kesalahan.

Ojik adalah seorang lelaki gagah yang memiliki beberapa anak buah. Mereka tergabung di dalam sebuah gang di kampung itu, nama gang-nya API. Sebuah nama yang aneh dan cenderung provokatif, terlebih jika disebut lengkap, yaitu "Aliansi Penjaga Iman". Nakri merasa aneh saja dengan nama itu. Penjaga Iman? Bukankah iman itu sifatnya personal, sehingga yang berhak menjaga adalah setiap masing-masing orang, bukan orang lain? Seolah sebagai klaim "penjaga iman" menyiratkan satu kesombongan: mereka lebih beriman dibanding siapapun.

Ojik dan gang API sesungguhnya berniat baik, mereka menebarkan kebaikan dan nilai akhlak. Namun Nakri merasa mereka melakukannya dengan cara yang salah, dengan cara memaksakan kehendak. Mereka menyuruh orang beribadah dengan kata-kata kasar. Mereka merampas dan melemparkan makanan yang sedang dinikmati seseorang, dengan alasan saat itu adalah bulan puasa. Padahal, Tuhan Maha Tahu, apakah seseorang melaksanakan sebuah ibadah atau tidak, termasuk juga Maha Tahu apa alasan seseorang tidak berpuasa hari itu. Tuhan Maha Tahu dan Tuhan pula yang berhak menghukum manusia yang melanggar Hukum-Nya. Tapi Ojik dan kelompoknya seolah mengambil Hak Tuhan itu, dan bertindak seolah mereka-lah yang paling benar. Maka terganggulah budaya silaturahim dan musyawarah mufakat di kampung itu. Kebaikan dan nilai akhlak adalah hal yang benar, tetapi jika sebuah kebenaran disampaikan dengan cara yang salah, maka kebenaran itu hanya melahirkan ketakutan dan ketegangan serta terganggunya rasa aman dan nyaman.

Keributan semalam dimulai ketika Ojik dibawa ke kantor keamanan karena melanggar aturan kampung. Sebuah aturan yang sebenarnya telah ada sejak lama dan telah pula disepakati oleh seluruh warga, termasuk penerapannya yang tidak pandang bulu. Namun kali ini ketegasan pelaksanaan aturan itu malah menimbulkan keributan.

Siang kemarin Nakri memang melihat beberapa anggota gang API mendatangi beberapa ustad, guru dan tokoh masyarakat kampung. Mereka mengadukan seolah Ojik boss mereka telah diperlakukan secara tidak adil, hingga harus diamankan di kantor keamanan. Narasi "perlakuan tidak adil", "Ojik difitnah", "petugas keamanan bertindak sewenang-wenang", mereka lemparkan ke siapapun yang mereka datangi. Ada framing yang mengarah ke satu sisi, yaitu Ojik dan API adalah korban sebuah kebijakan yang keliru dan menyimpang. Nakri tersenyum jika ingat soal itu. Ada sesuatu yang dianggapnya lucu.

Lamunan Nakri tertahan sejenak saat Tiwi, sang isteri, muncul dan menanyakan soal kenapa suaminya melamun.

"Nggak enak ya kopi dan pisang goreng buatanku?" tanya Tiwi. Nakri tersenyum mesra ke isterinya.

"Kopi dan pisang goreng buatanmu selalu enak. Tapi nggak tahu kenapa mulut ini kok kayak males mengunyah ya," jawab Nakri.

Tiwi memahami suasana hati Nakri. Maka ia hanya berkata pendek sebelum kembali masuk ke kamar, "Nikmatilah kopi dan pisang gorengnya kalau nanti pikiran Abang sudah tenang."

Selepas Tiwi pergi, Nakri kembali berpikir soal keributan di kampungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun