"Aku baru sadar ternyata virus corona tidak hanya memakan korban jiwa tapi juga korban perasaan, juga rencana--rencana masa depan di babat habis oleh corona. Dan kau tahu min!?, sudah sebulan ini aku tidak lagi bicara dengannya".
"Semua ini gara--gara corona min, atau mungkin saja ini takdir yang sudah digariskan Tuhan untukku". Â
"Terlalu cepat kau menyimpulkan wabah sebagai penyebab masalahmu mus dan terlalu cepat kau bilang ini adalah takdir", sela muhaimin.
Belum selesai muhaimin bicara, mustafa dengan lantang menjawab.
"Lalu siapa lagi yang pantas aku salahkan untuk masalahku?, jelas -- jelas, kalau bukan karena virus sial ini, mungkin sekarang rencanaku lancar. Kau tidak mendukungku, sahabat macam apa kau min", ucap mustafa dengan nada kesal.
"Soal corona mungkin saja benar, tapi bagaimana dengan takdir, apa benar wabah ini takdir Tuhan?" muhaimin menjawab.
Karena keasikan berdebat, keduanya tidak menyadari kalau Gus Amran telah mendekat ke arah mereka. Keduanya sadar ketika Gus Amran memberi salam.
"Asalamualaikum".
Menyadari kedatangannya dengan cepat keduanya membalik badan dan menyambut salam dengan takzim.
"Walaikumsalam Gus".
Gus Amran adalah putra sulung Kiyai Hasyim pembina Pesantren Afala Ta'qillun. Untuk sementara pesantren diamanahkan kepadanya karena Kiyai sedang keluar daerah. Dia cukup dekat dengan para santri termasuk Mustafa dan Muhaimin.