Mohon tunggu...
Zainal Tahir
Zainal Tahir Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi

Dulu penulis cerita, kini penulis status yang suka jalan-jalan sambil dagang-dagang. https://www.youtube.com/channel/UCnMLELzSfbk1T7bzX2LHnqA https://www.facebook.com/zainaltahir22 https://zainaltahir.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/zainaltahir/ https://twitter.com/zainaltahir22 https://plus.google.com/u/1/100507531411930192452

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Investasi Pendidikan

2 Mei 2018   12:25 Diperbarui: 2 Mei 2018   13:59 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.essentialgearforguys.com

Bertepatan hari Pendidikan Nasional yang kita peringati tanggal 2 Mei setiap tahun, maka saya berupaya membagi serpih-serpih pemikiran, walau saya belum terlalu 'pede' ngomong soal pendidikan yang berkualitas buat generasi pelanjut, apalagi menyarankan atau mengajari kompasianer atau pembaca kompasiana ini dengan mencomot-comot pendapat berbagai ahli.

Saya belum merasa langkah-langkah yang saya ambil untuk menyekolahkan anak pertama saya di Jerman, dan anak kedua di Amerika, serta anak ketiga yang kini tengah menempuh program kelas intensif dua tahun di salah satu SMU favorit dan tergolong mahal di Jakarta, belumlah menghasilkan sesuatu yang dibanggakan buat agama, keluarga, nusa dan bangsa.

Saya sangat meyakini investasi pendidikan menjadi kunci utama pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Ia akan sangat berpengaruh pada sektor-sektor pembangunan lainnya, terutama pertumbuhan ekonomi. Mau jadi apa negeri ini jika anak-anak kita tak dibekali dengan pendidikan yang berkualitas dan keterampilan yang mumpuni?

Saya sangat sependapat dengan pemikiran ilmiah yang dilontarkan oleh Theodore Schultz pada tahun 1960. Peletak dasar teori human capital modern ini dalam pidatonya yang berjudul Investment in Human Capital di hadapan The American Economic Association ini menyampaikan pesan utama, bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.

Rifqi Nafiz kini kuliah Technische Hochschule Mittelhessen, Giessen, Jerman. Sering kerja sambilan di negara tersebut. (dokpri)
Rifqi Nafiz kini kuliah Technische Hochschule Mittelhessen, Giessen, Jerman. Sering kerja sambilan di negara tersebut. (dokpri)
Seiring dengan itu, Schultz (1961) dan Deninson (1962) kemudian memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.

Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi "leading sektor" atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitmen politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.

Menurut Sumara (2005), pada tahun 1970-an penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Becker (1964) yang mengatakan bahwa teori human capital lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.

Kritik Becker justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis bahwa pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab itu terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).

Penelitian Hick (1980), Wheeler (1980), dan beberapa peneliti neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahkan seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya ke berbagai negara.

Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya. Artinya, investasi modal fisik akan berlifat ganda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.

Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan serta untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangunan.
Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Sebagai sebuah investasi dalam bentuk modal SDM, pendidikan dan pelatihan memerlukan pembiayaan yang besar dan pengelolaannya secara efektif dan efisien. Istilah efektif merujuk pada sasaran atau hasil yang ingin dicapai untuk setiap penggunaan mata anggaran, sedangkan istilah efisien merujuk pada proses pengalokasian dan penggunaan anggaran itu.

Secara konseptual efisiensi pendidikan meliputi efisiensi atau disebut juga keefektifan biaya (cost effectiveness), dan efisiensi eksternal atau disebut manfaat biaya (cost benefit). Cost benefit dikaitkan dengan analisis keuntungan atas investasi pendidikan dari pembentukan kemampuan, sikap dan keterampilan. Dalam perhitungan investasi terdapat dua hal penting yaitu :
1. Investasi hendaknya menghasilkan kemampuan yang memiliki nilai ekonomi di luar nilai instrinsiknya.
2. Nilai guna dari kemampuan. Analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) merupakan metodologi yang banyak digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan.

Metode Analisis biaya manfaat dapat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan pilihan diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas tetapi memberikan keuntungan yang tinggi.

Investasi dibidang pendidikan perlu untuk merespon kebutuhan ekonomi tenaga kerja menurut jenjang dan jenis pendidikan. Analisis tingkat balik (Rates of Return Analysis) ekonomi dari investasi ini diperoleh dengan membandingkan produktivitas dari tenaga kerja terdidik yang biasanya digambarkan oleh profil upah dengan produktivitas tenaga kerja yang tidak terdidik. Nilai investasi pendidikan dapat berbeda bergantung acuannya, apakah acuannya dari sudut pandang masyarakat atau individu.Tidak semua biaya pendidikan ditanggung oleh individu, tetapi sebagian ditanggung oleh masyarakat melalui subsidi pemerintah.

Perluasan dan pembatasan pendidikan harus diciptakan bersama, dengan ini dilakukan upaya peningkatan investasi dan relevansi pendidikan secara lebih merata dan meluas dalam berbagai jenis, jenjang dan jalur pendidikan. Investasi pendidikan di negara-negara berkembang, dimana kondisi ekonomi sudah relatif maju dengan berbasis perindustrian, maka strategi investasi pendidikan diarahkan untuk memenuhi lapangan dunia kerja. Pengembangan investasi pendidikan perlu dilakukan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Inventarisasi kebutuhan tenaga kerja dalam jangka pendek berdasarkan estimasi kebutuhan tenaga kerja dalam perspektif jangka panjang merupakan peluang untuk melakukan investasi pendidikan. (Sofa, 2008)

Yaumil Aslam, Mahasiswa di Whatcom Community College, Bellingham, Washington AS.(dokpri)
Yaumil Aslam, Mahasiswa di Whatcom Community College, Bellingham, Washington AS.(dokpri)
Pendidikan anak sebetulnya sebuah investasi. Hasil dari pembiayaan pendidikan yang dilakukan orang tua nantinya akan lebih banyak dinikmati oleh si anak itu sendiri, bukan oleh si orang tua. Sebagai contoh, bila orangtua membayari pendidikan anaknya, si orang tua boleh berharap bahwa mudah-mudahan saja dengan pendidikannya si anak bisa menjalani kehidupannya sehari-hari dengan baik nantinya ketika kelak ia dewasa. Atau, dengan pendidikan yang baik, diharapkan si anak bisa lebih pandai dalam berpikir, bertindak dan berkomunikasi.

Apabila hasil investasi itu telah dinikmati oleh si anak, maka barulah secara tidak langsung keluarganya juga akan ikut terangkat derajat dan martabatnya. Jadi, pantaslah bila dikatakan bahwa dengan Anda membayari pendidikan anak Anda, Anda sebetulnya telah melakukan investasi.

Bukan investasi yang menghasilkan uang untuk keluarga, tapi investasi untuk menjadikan hidup anak Anda lebih baik, sehingga nantinya itu juga akan mengangkat derajat dan martabat Anda sebagai orang tuanya. Sehingga penting untuk mempersiapkan biaya pendidikan anak Anda dengan baik sehingga Anda akan selalu punya cukup uang untuk membayari pendidikan anak Anda. (Safir Senduk, 2000)

Nah, sekarang, apakah pendidikan itu mahal? Tergantung Anda yang menilai. Pengalaman saya mengatakan, untuk menyekolahkan anak di Jerman tak lebih dari Rp. 150 juta biaya dibutuhkan pertahun sudah termasuk biaya hidup dan tempat tinggalnya. 

Namun jika menyekolahkan anak di Amerika itu jauh lebih mahal, bisa sampai Rp. 500 juta per tahun. Ini jika biaya sendiri. Namun bila ditunjang dengan adanya beasiswa, tentu soal biaya tak perlu dipikirkan. Tinggal anaknya, apakah mampu atau tidak sekolah di luar negeri, terutama kemampuan berbahasanya. 

Ada orang tua yang anaknya mampu dan besar semangatnya sekolah, tapi orang tuanya tak mampu. Ada yang orangtuanya mampu tapi si anak lagi yang pas-pasan. Dan, banyak pula anak yang punya orang tua mampu, tapi si orangtua ini selalu mencari sekolah yang gratisan.

Parahnya, banyak juga yang memiliki anak yang sudah otaknya buntu, orang tuanya juga tak punya perhatian, walau ada pendidikan gratis. Namun, yang sering terjadi adalah si anak mampu, orangtua mampu, tapi tak sanggup berjauhan dengan anaknya.

Maka anggapan bahwa kita banting tulang mencari nafkah sesungguhkan untuk anak-anak sebagai generasi pelanjut, itu saya sangat sepakat.

ZT -Kemayoran, 2 Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun