Mohon tunggu...
Zainal Mustofa Misri
Zainal Mustofa Misri Mohon Tunggu... Konten Kreator, Aktivis Sosial

Manusia biasa yang Ingin terus belajar dan berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gus Dur: Inilah Kritik Sosial yang Jenaka Namun Tajam Ala Gus Dur yang Relevan Sampai Saat Ini

9 Maret 2025   20:18 Diperbarui: 9 Maret 2025   20:18 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Gus Dur (Sumber: Pinterest)

Di tengah riuhnya reformasi, seorang tokoh tampil dengan gaya yang khas: ceplas-ceplos, jenaka, namun sarat makna. Ia adalah Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, Presiden Republik Indonesia keempat. Bukan hanya seorang negarawan, Gus Dur adalah perpaduan unik antara cendekiawan, ulama, dan pelawak. Humornya bukan sekadar pengundang tawa, tetapi juga cermin realitas yang seringkali pahit.

Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940, Gus Dur tumbuh dalam keluarga yang kental dengan tradisi keagamaan. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Menteri Agama pertama Indonesia. Kakeknya, KH Hasyim Asy'ari, adalah pendiri NU. Didikan agama yang kuat dan wawasan yang luas membentuk Gus Dur menjadi sosok yang toleran dan pluralis.

Sebelum terjun ke dunia politik, Gus Dur aktif di NU. Ia menjabat sebagai Ketua Umum PBNU selama tiga periode (1984-1999). Di bawah kepemimpinannya, NU menjadi organisasi yang lebih terbuka dan inklusif. Gus Dur juga dikenal sebagai pembela hak-hak kelompok minoritas dan pejuang demokrasi.

Pada tahun 1999, Gus Dur terpilih sebagai presiden melalui Sidang Umum MPR. Masa kepemimpinannya diwarnai dengan berbagai kontroversi, tetapi juga diakui sebagai periode yang penting dalam transisi demokrasi Indonesia. Ia dikenal sebagai sosok yang berani mengambil keputusan kontroversial dan sering membuat pernyataan yang mengejutkan. Salah satu ciri khasnya adalah selera humor yang tinggi, yang ia gunakan untuk menyampaikan kritik sosial dan politik.

"Di negeri ini hanya ada tiga polisi yang jujur," ujarnya suatu ketika, "Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur. Ketiga, polisi Hoegeng." Sindiran ini, meski jenaka, menggambarkan keprihatinan Gus Dur terhadap kejujuran di kalangan penegak hukum.

Kisah tentang tukang becak Madura yang melanggar rambu "becak dilarang masuk" juga tak kalah menggelitik. "Kalau saya bisa baca, saya pasti jadi polisi seperti sampeyan, bukan jadi tukang becak," kata tukang becak itu. Humor ini menyentil kesenjangan sosial dan pendidikan yang masih menjadi masalah di negeri ini.

Foto Gus Dur (Sumber: Pinterest)
Foto Gus Dur (Sumber: Pinterest)

Saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur tak kehilangan selera humornya. "Presiden itu memang harus sedikit gila," katanya, "Kalau tidak gila, tidak mungkin jadi presiden." Pernyataan ini, meski kontroversial, mencerminkan keberanian Gus Dur dalam menghadapi tekanan politik.

Gus Dur juga dikenal sebagai "presiden wisatawan" karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri. "Saya keliling dunia untuk melihat keindahan ciptaan Tuhan," ujarnya. Jawaban ini, meski jenaka, menunjukkan pandangan Gus Dur yang luas dan terbuka.

Dalam forum internasional, Gus Dur juga tak kalah jenaka. Saat bertemu Fidel Castro, ia membuat pemimpin Kuba itu tertawa terbahak-bahak dengan lelucon tentang presiden-presiden Indonesia. "Yang pertama gila wanita, yang kedua gila harta, yang ketiga gila sama teknologi," ujarnya. "Saya? Yang milih saya ini yang gila."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun