“Saya tidak merasa seperti orang asing di alam semesta ini” (Freeman Dyson)
Haruskah kita mengadopsi pendekatan kaum atheis pragmatik yang puas dengan memandang alam semesta sebagai adanya, dan meneruskan katalogisasi sifat-sifatnya? Tak diragukan bahwa banyak ilmuwan secara temperamental menentang bentuk apapun dari argumen metafisis, apalagi argumen mistis.
Pada akhirnya, kebenaran-kebenaran tentu saja hampir tidak mungkin, pemikiran kita kebanyakan terhalang dari pengetahuan tertinggi, dari penjelasan terakhir, oleh aturan-aturan penalaran itu sendiri yang mendorong kita untuk mencapai penjelasan semacam itu pada awal mulanya.
Ibaratnya, jika kita ingin maju kesebrang, kita harus merangkul konsep “pemahaman” yang berbeda dari konsep penjelasan rasional. Mungkin, jalur mistis adalah suatu jalan menuju pemahaman seperti itu.
Dalam keadaan yang seperti ini yang dirasakan kebanyakan orang, tidak ada yang dapat disalahkan. Karena dilain sisi setiap individu yang bernyawa memiliki pemahamannya masing-masing.
Bagaimana kita telah menjadi terpaut ke dalam dimensi kosmis ini adalah sebuah misteri, namun keadaan itu tidak bisa kita tolak. Saya tidak dapat mempercayai bahwa eksistensi kita di alam semesta ini adalah takdir belaka, sebuah kebutulan sejarah, atau satu titik insidental dalam drama besar kosmis.
Keterlibatan kita begitu mendalam, rumpun fisik Homo boleh dianggap bukan apa-apa, lewat makhluk-makhluk sadar, alam semesta telah menurunkan kesadaran diri. Kita sungguh berarti untuk berada disini.
Lakukan lah yang menurut mu benar untuk dilakukan, disamping tidak menyalahkan kebenaran yang ada, dan jangan pernah bosan mencari kebenaran yang harus dibenarkan, jangan diam atas kebodohan yang dimiliki.
Sumber: Davies, Paul. 1993. The Mind of God The Scientific For a Rational World. New York