Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kisah Si Buta

5 Agustus 2020   23:44 Diperbarui: 5 Agustus 2020   23:45 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Sun. Aku adalah seorang guru tunanetra di salah satu SLB di Kabupaten Gunungkidul. Aku menjadi tunanetra karena kecelakaan.

Waktu masih bersekolah jenjang SMA, aku ikut menambal ban motor. Ketika itu tak ada yang menyangka hari itu adalah hari terakhirku dapat melihat dunia ini. Aku terkena letusan ban yang sedang ku pompa setelah ku tambal. Tentu saja darah banyak sekali. Wajahku sudah tidak dikenali lagi.

Kisah pahitku harus berlanjut di rumah sakit di Yogyakarta. Dokter lebih berupaya menyelamatkan aku waktu itu. Antara hidup dan mati kalau kata orang.

Orangtuaku juga berupaya bagaimana caranya agar aku dapat kembali melihat. Mereka ingin mendonorkan matanya untukku. Demi anaknya.

Tapi, ternyata hal itu mustahil dilakukan. Karena sudah tidak mungkin dilakukan operasi mata. Mataku benar-benar rusak. 

***

Hari-hari berat ku lalui. Aku dengan segala ambisi mudaku, ingin tetap melihat. Mungkin seperti frustasi aku kalau dilihat.

"Sekolah saja di SLB, Sun..", kata seorang guru SLB yang datang ke rumahku. Beliau bernama Narta.

Aku hanya diam. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku harus sekolah di SLB. Mau belajar apa coba.

Dengan segala bujuk rayunya kepadaku dan kepada orangtuaku maka akhirnya aku bersekolah di SLB. Ya, aku belajar ilmu yang bernama menulis dan membaca braille serta OM. Orientasi mobilitas.

O iya, saat itu aku tetap menganggap aku ini seprang awas terus. Berjalan seolah masih awas. Sering terbentur tentu saja. Intinya aku belum menerima keadaanku yang menjadi buta.

***

Sampai akhirnya aku belajar menerima keadaanku. Aku akhirnya melanjutkan kuliahku di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. 

Alhamdulillah aku lulus juga. Meski agak lama. Tapi aku cukup senang. Ini sebagai obat bagi aku sendiri.

"Aku akan mengabdi di SLB tempat aku belajar, mak", kataku kepada mamakku.

Dengan restu dari orangtua dan ijin dari guru-guru SLB tersebut, akhirnya aku mengabdi menjadi guru bagi anak tunanetra. Akhirnya berguna juga ilmu belajar braille-ku untuk anak-anak usia sekolah.

Aku sering diajak guru yang mengampu kesenian elektone untuk mengisi hajatan. Beliau pak Wur. Kegiatan ini juga sekalian sebagai ajang sosialisasi kepada kaum seperti aku. Bahwa seorang tunenetra bisa menjadi guru. Bahkan alhamdulillah tahun 2009, aku menerima SK CPNS. 

Hal itu sering dilakukan agar orangtua yang memiliki anak seperti aku juga mau menyekolahkan anaknya di SLB. Dan jika IQ bagus dapat melanjutkan kuliah dab meraih cita-cita.

"Iki duit pira, Sun", tanya pak Wur sambil menyerahkan uang kertas ketika di atas panggung.

"Iki seket ewu", jawabku asal.

Apakah jawabanku benar? Tentu saja tidak.

Ini hanya gurauan kami, untuk meyakinkan bahwa aku benar-benar tunanetra. Bagi orang yang mendatangi hajatan dapat tertawa dengan gurauan kami.

#inspirasi dari kisah nyata teman saya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun