Mohon tunggu...
Zahra Amelia
Zahra Amelia Mohon Tunggu... Universitas Negeri Jakarta

Zahra Amelia, Universitas Negeri Jakarta. Anak semata wayang. Suka menulis dan menjadi wadah bercerita orang lain, serta ikut serta berorganisasi karena selain menambah relasi juga akan menjadi manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahalnya Pendidikan: Saat Digitalisasi Ditingkahi Dugaan Korupsi

16 September 2025   14:40 Diperbarui: 16 September 2025   15:14 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan adalah salah satu investasi terbesar bangsa. Namun, di Indonesia, isu mahalnya biaya pendidikan sudah lama menjadi perhatian. Kehadiran digitalisasi, yang digadang sebagai solusi modern, ternyata tidak sepenuhnya menghadirkan efisiensi. Kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan laptop Chromebook di era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim memperlihatkan paradoks: ketika modernisasi pendidikan ditingkahi praktik penyalahgunaan wewenang, biaya pendidikan justru semakin membebani masyarakat dan negara.

Program digitalisasi pendidikan 2019–2022 difokuskan pada penyediaan perangkat TIK untuk sekolah, terutama laptop berbasis Chrome OS. Nilai proyek ini mencapai sekitar Rp9,9 triliun. Pemerintah berdalih program ini mendukung Merdeka Belajar dan mempermudah pembelajaran jarak jauh, terutama saat pandemi.

Namun, menurut hasil penyelidikan Kejaksaan Agung (2025), terdapat dugaan rekayasa kebijakan dan arahan agar spesifikasi hanya cocok dengan produk Chromebook. Dampaknya, harga perangkat disebut jauh lebih tinggi dari standar pasar dan tidak sesuai dengan kondisi infrastruktur internet di banyak sekolah. Estimasi kerugian negara mencapai Rp1,9 triliun (Detik, 2025).

Pada 4 September 2025, Kejaksaan menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka, bersama sejumlah pejabat Kemendikbudristek lain (Sinar Harapan, 2025). Kasus ini menjadi salah satu skandal pendidikan terbesar dalam dua dekade terakhir.

Dari sisi ekonomi, kasus pengadaan laptop Chromebook menimbulkan sorotan tajam terkait inefisiensi anggaran. Laptop yang seharusnya bisa diperoleh dengan harga Rp4–5 juta justru dilaporkan dibeli dengan kisaran harga yang jauh lebih tinggi. Hal ini memperlihatkan adanya pemborosan anggaran negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan lebih efektif.

Selain itu, terdapat opportunity cost yang signifikan. Dana triliunan rupiah yang tersedot ke proyek bermasalah tersebut semestinya dapat dialihkan untuk pembangunan sekolah baru, peningkatan kualitas pelatihan guru, atau subsidi pendidikan bagi siswa kurang mampu. Dengan demikian, kasus ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga berimplikasi pada terhambatnya pembangunan sektor pendidikan yang lebih luas.

Dari aspek sosial, proyek digitalisasi melalui Chromebook juga menimbulkan persoalan ketimpangan digital. Perangkat ini sangat bergantung pada jaringan internet yang stabil, padahal masih banyak sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang belum memiliki infrastruktur memadai. Kondisi ini justru memperdalam kesenjangan antara sekolah di perkotaan dan di pelosok, sehingga tujuan pemerataan pendidikan digital sulit tercapai.

Kasus ini juga berdampak pada kepercayaan publik. Masyarakat semakin skeptis terhadap janji pemerintah dalam menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya yang sepadan. Banyak yang menilai bahwa mahalnya pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan mutu maupun transparansi pengelolaan anggaran.

Secara politik dan tata kelola, kasus ini menyingkap persoalan klasik lemahnya pengawasan dalam proyek pendidikan. Keputusan yang seharusnya berbasis kebutuhan teknis justru diduga diarahkan untuk menguntungkan vendor tertentu. Minimnya transparansi publik membuat masyarakat hanya mengetahui permasalahan ketika kasus hukum telah mencuat ke permukaan. Hal ini menunjukkan pentingnya sistem tata kelola yang lebih terbuka, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan peserta didik.

Sebagai generasi muda, khususnya mahasiswa dan calon pendidik, kita memiliki peran penting dalam menyikapi fenomena ini. Peran tersebut dapat dimulai dari diri sendiri dengan mengasah sikap kritis, memahami hak atas pendidikan, serta menolak bersikap apatis terhadap kebijakan publik yang menyangkut masa depan bangsa. Lebih jauh, kontribusi juga dapat diwujudkan bagi orang lain, misalnya dengan ikut mengawasi implementasi kebijakan, menyuarakan aspirasi melalui organisasi mahasiswa, komunitas literasi, maupun media sosial. Dengan langkah-langkah tersebut, generasi muda tidak hanya berperan sebagai penonton, tetapi juga tampil sebagai aktor penting dalam menjaga integritas dunia pendidikan agar benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Kasus pengadaan Chromebook menunjukkan bahwa mahalnya pendidikan tidak semata-mata berkaitan dengan biaya, melainkan juga erat kaitannya dengan integritas kebijakan. Tanpa adanya transparansi, program digitalisasi dikhawatirkan hanya menjadi kedok bagi praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, reformasi pendidikan tidak cukup mengandalkan inovasi teknologi semata, tetapi juga harus disertai dengan tata kelola yang bersih dan akuntabel. Dalam hal ini, generasi muda memiliki peran strategis sebagai agen kontrol sosial, agar digitalisasi benar-benar berfungsi untuk memajukan pendidikan nasional, bukan sekadar menjadi proyek mahal yang menguntungkan segelintir pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun