Mohon tunggu...
Zahid Paningrome
Zahid Paningrome Mohon Tunggu... -

Creative Writer zahidpaningrome.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fragmen 3 Langkah

19 Mei 2017   21:06 Diperbarui: 19 Mei 2017   21:08 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruangan itu serba abu, minimalis dengan dekorasi yang sederhana. Bohlam di atap ruangan ditata secara acak, membentuk bayangan sebuah kelopak bunga yang memantul di lantai cokelat yang mengkilap. Aku baru saja datang, pintu kaca yang kubuka berdecit, suaranya mengganggu telinga, membuat beberapa orang menatapku singkat. Ada yang bilang, ruangan itu adalah tempat terbaik untuk menenangkan diri dari hiruk pikuk kota yang makin gila. Aku duduk di sebuah kursi bar dengan besi sebagai penyangga bantalan kayu tanpa sandaran.

Tempat itu dibagi menjadi empat bagian. Aku berada di ruangan pertama, ruangan yang letaknya paling depan, berdekatan dengan pintu masuk. Ruangan untuk orang-orang yang datang sendiri, terlihat dari kursi-kursi solo yang ditata sejajar di depan bar. Ada dinding pembatas kaca yang memisahkan ruangan itu dengan ruangan lainnya. Ada meja dan kursi panjang yang menghiasi ruangan kedua, tempat yang biasa dipakai para eksekutif muda untuk meeting bersama klien-klien mereka atau para mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah.

Ruangan ketiga ada di lantai dua. Tak ada kursi disana, hanya ada meja-meja dan karpet untuk pengunjung yang ingin duduk bersila atau selonjor alias tanpa kursi. Ruangan itu biasa dipakai untuk arisan keluarga, atau tempat berkumpulnya berbagai komunitas di kota ini, ruangan paling luas di antara yang lainnya. Ruangan keempat ada di lantai tiga, untuk berada disana kita perlu menaiki tangga melingkar dengan 23 anak tangga. Ruangan terbuka dengan beberapa meja berpayung untuk melindungi pengunjung dari panas matahari atau hujan. Biasanya hanya para perokok yang ada di lantai tiga. Menghabiskan rokoknya lalu kembali turun.

“Minum apa, Mas?” seorang barista yang sedang mengelap cangkir kopi menawariku.

Belum aku menjawabnya pintu terbuka, suara decitannya masih menggangu telinga. Aku melihat samar-samar karena pantulan sinar matahari mengganggu pandanganku. Seorang wanita memakai rok hitam selutut dan blus putih tanpa lengan membawa tas hitam kecil berjalan mendekat lalu berdiri di sampingku, berbicara pada barista yang sama.

“Mas biasa, ya,” kata wanita itu. Barista menjawabnya santai, seperti seorang yang sudah saling kenal. Wanita itu kemudian meninggalkan bar, sempat tersenyum menatapku. Aku melihatnya berlalu, berjalan melewati ruangan kedua, Kulitnya yang putih terlihat dari lubang berbentuk oval di bawah leher pada blus putih yang dipakainya. Wanita itu menuju ke lantai dua.

“Kenapa, Mas?” tanya barista itu sembari sibuk dengan mesin kopinya.

“Tadi siapa, Mas?” tanyaku.

“Oh… Saya sih nggak tahu namanya, tapi dia sering kesini sendiri. Suka duduk di lantai tiga. Yaa… Jam-jam segini ini dia kesininya, dua atau tiga jam lagi baru pulang.”

“Ohgitu…” kataku mengangguk pelan.

“Masnya jadi mau minum apa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun