Mohon tunggu...
Zahara Sitio
Zahara Sitio Mohon Tunggu... Jurnalis - Penikmat Kopi

"Chance Never Comes Twice"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Percaya Segala Hal Hebat Itu Berawal dari Diri Kita

18 Mei 2021   23:58 Diperbarui: 19 Mei 2021   00:08 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan latarbelakang pemandangan Danau Toba (Foto: Istimewa)

SEMUA orang di dunia ini sepakat bahwa perubahan itu bukan hanya perlu tapi penting. Banyak orang teriak untuk perubahan tapi sayang, tidak sedikit orang memandang perubahan hanya jargon, hanya spirit. Padahal, mereka tidak melakukan apapun. Di pikiran mereka, perubahan hanya harapan. Berharap ada perubahan atau berharap berubah.

Berharap kotanya berubah jadi kota yang lebih baik. Berharap masyarakatnya makmur. Berharap pemimpinnya si A atau si B. Berharap akan mendapat ini dan itu. Berharap akan mendapat posisi yang uenak nantinya. Berharap dirinya jadi begini, jadi begitu. Berubah, lagi-lagi cuma harapan.

Hari ini atau Besok

Bisa jadi hanya orang pintar yang paling kencang berteriak pentingnya perubahan. Tapi sungguh, mereka sebenarnya tidak melakukan apapun kecuali rutinitas. Berubah hanya harapan, hanya teriakan.

Memang benar. Berapa banyak orang berteriak ingin mengubah segala sesuatu yang ada di dekatnya? Atau mengubah orang-orang di sekitarnya? Tapi nyatanya, mereka sendiri tak sedikitpun mau mengubah dirinya. Bahkan untuk satu hal yang kecil sekalipun. Mereka kini sedang terbelenggu dalam rutinitas, terbelenggu dalam harapan. Ayo kita berubah. Mari berubah. Begitu kata mereka si orang pintar.

Tapi mereka sendiri tidak berani untuk berubah. Lalu menyuruh orang lain untuk berubah. Lalu menuntut lingkungannya yang berubah. Lha, si orang pintar ngapain?

Katanya, perubahan itu butuh keberanian. Katanya perubahan itu menjadikan kita lebih dinamis, lebih berwarna. Katanya kita diciptakan untuk berbeda. Tapi, apa sih yang sudah kita ubah?

Seekor Lalat

Ibarat seekor lalat tergeletak mati di satu rumah. Konon, saat berada di dalam rumah itu, si lalat berjuang keras agar dapat keluar rumah. Hanya bermodalkan "sinar terang" dari luar rumah yang terpancar melalui jendela. Alhasil, si lalat buru-buru terbang untuk keluar. Bekerja keras menabrak kaca berkali-kali. Sikap keras si lalat menabrak kaca yang jadi "asal cahaya" adalah penyebab kematiannya.

Lucunya, tak jauh dari jendela itu, ada pintu besar yang terbuka lebar. Pintu yang dapat membebaskannya ke alam bebas, ke luar rumah. Ya, memang pintu itu gelap tak menampakkan sinar. Jadi wajar, si lalat lebih memilih jendela berkaca yang punya "sinar terang". Walau terus terpentok dan tak dapat membuatnya keluar. Hingga berujung "kematian". Sungguh, kasihan si lalat itu.

Begitu pula kadang manusia. Ingin berubah hanya sebatas teriakan. Kita sering lupa, perubahan pun kadang tidak cukup dihadapi dengan kerja keras. Atau bahkan melakukan ikhtiar yang terjebak pada rutinitas. Untuk bisa berubah, teriakan, kerja keras, bahkan ikhtiar yang kita lakukan bisa jadi "tak ada artinya". Gak pengaruh, gak bermakna.

Berapa banyak orang yang frustasi. Karena kerja kerasnya dianggap tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Berubah, sungguh bukan cuma teriakan. Karena hidup, terkadang tidaklah cukup dijalani dengan kerja keras doang. Tapi kita juga harus mau dan siap mengubah diri. Kita yang berubah. Pribadi yang berubah.

Mengubah apa yang ada dalam diri sendiri, di dalam diri kita. Bukan menuntut perubahan pada orang lain, pada apa yang di luar kita. Ada banyak perubahan di luar kita. Tapi kita yang tidak pernah mengubah cara pandang dalam melihat perubahan itu.

Orang lain dituntut berubah, lingkungan diminta berubah. Tapi kita sama sekali tidak berubah. Kita mulai menjelek-jelekkan orang hanya untuk mendapatkan perubahan. Kita mulai memakai retorika-retorika hanya untuk suatu perubahan.

Banyak orang merasa kondisinya berat. Banyak orang merasa sekarang situasinya sulit. Bahkan sering menganggap pekerjaan sebagai beban. Menganggap orang lain salah. Menganggap lingkungannya gak benar. Lalu, berpikir dan bertindak yang negatif. Menyalahkan orang lain, menyalahkan pemimpin, menyalahkan segalanya sebelum kita tahu alasannya?

Wajar, kalau akhirnya kita hampir tak punya ruang untuk menciptakan "peluang". Kita jadi tidak kreatif lagi. Bahkan, kita tidak mau belajar dari yang sudah lampau. Atau kita tidak mau "belajar" sebelum memulai. Terus menerus begitu, hingga terjebak ke dalam "lingkaran setan" rutinitas hidup. Lalu berdalih, kita sedang melakukan sesuatu karena sudah seharusnya begitu.

Berubah Ada di Diri Kita

Berubah, sekali lagi bukan cuma teriakan. Karena berubah itu ada dalam diri kita, bukan berharap pada orang lain. Betapa banyak orang berharap orang lain berubah. Tapi dirinya tidak mau berubah. Bukankah si lalat tadi tidak akan "menemui ajal kematian" seandainya mau mencoba jalan lain daripada "memaksa keluar" dengan menabrak kaca berkali-kali.

Bukankah kita bisa mencari "pintu" yang pas untuk membawa kita ke kehidupan yang lebih baik. Berubah itu bukan soal ingin menang atau takut kalah. Berubah bukan soal pengen begini pengen begitu. Tapi berubah soal momentum untuk belajar yang lebih baik lagi.

Sungguh, mengubah diri sendiri itu lebih baik daripada mengharapkan perubahan di luar diri kita. Itulah berubah yang bukan cuma teriakan.

Ingat kata Sastrawan Rusia Leo Tolstoy, everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself (segala hal hebat berawal dari diri sendiri). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun