Diriwayatkan dari sahabatSyadad bin Aus r.hu, dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda,
“Orang cerdas (al-Kayyis) adalah orang yang menghisab[mengevaluasi]dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian.Adapunorang lemah adalah orang yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt.”
Guru saya pernah memberikan keterangan mengenai kataal-kayyis. Orang Jawa Islam awal memberikan padanan kataal-kayyisdengan kiai. Maksudnya, kiai itu adalah seorang yang cerdas, yang kecerdasannya di atas rata-rata kaumnya atau shantrinya, dikarenakan seorang kiai selalu melakukan muhasaba terhadap diri sendiri, dan fokus perjuangan selalu diorientasikan kepada kehidupan setelah mati.
Seorang kiai benar-benar bagian integral dari komunitas orang-orang khusyuk. Yakni, orang-orang yang selalu meyakini dengan focusPOWER bahwa diri mereka pasti bertemu dengan Allah azza wa jalla, dan diri mereka pasti kembali kepada Rabb mereka.
Jadi, prinsipkiai(kayyis) adalah selalu terpeliharanya rasa takut di dalam dirinya dengan Allah swt, jangan-jangan amal yang dikerjakan tertolak di sisi-Nya. Itulah sebabnya, seorang kiai selalu menekankan pada dirinya sendiri untuk melakukanevaluasi diri(muhasabah ‘alan nafs).
Seorangkiai(kayyis) memiliki menejemen kepribadian yang bagus. Yaitu: Melakukan amal (‘āmil); Visioner (ghayah), Memiliki perencanaan (ahdaf); Mempunyai strategi (takhtith); Bersifat aplikatif (tatbiq); dan Dievaluasi (muhasabah).
Seorang yang sukses menurut Rasulullah saw, ya si kayyis tersebut. Dan, orang yang gagal adalahal-‘ājiz. Itulah sebabnya, secara budaya, nilai-nilaial-kayyistersebut diadopsi secara kultural oleh orang Islam Jawa kuno ke dalam bahasa budaya mereka menjadikiai. Karena di tanah Jawa telah ada istilah “Ki”. Yang dialamatkan kepada setiap makhluk atau benda, yang dianggap memiliki kekuatanlinuwih; wa-llahu a’lam.
Hadis inimenggambarkan tentangCara Berpikiryang harus dimiliki oleh seorang muslim-mukmin. SebuahCara Berpikiryang membentang: Luwas; Luwes; lagi Mendalammenembus dimensiwaktu. Yaitu, Cara Berpikir yang membuahkan Cara Pandang untuk mempersiapkan diri guna merasakan nikmatnya kesuksesan kehidupan akhirat.
Seorang muslim tidak seharusnya berwawasan sempit dan terbatas. Sekadaruntukmemenuhikeinginannyasesaat. Namun, seorang muslim harus memilikiCara BerpikirdanCara Pandangyang jauh ke depan.Orangsukses,adalah orang yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya.Sebagaimana difirmankan-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok [akhirat], dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan. Dan, janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung”(Qs.al-Hasr[59]: 18-19).
Dari sinilah perbedaan evaluasi islami dan non islami. Evaluasi islam adalah evaluasi demi perbaikan diri,agar mendapatkan cinta Allahswt.Konsekuensinya adalah beramal sesudah kematian. Sementara,evaluasi non-islami evaluasinya dilakukan,agar dinilai pihak lain baik, profesional,dan kompetebel. Yang jelas niatnya tidak lagi mencari ridlaAllah swt.Tentunyaoutput yang dihasilkan sangat berbeda. Inilah pentingnya ajaranTriangleForceuntuk dijadikan sebagai nafas kehidupan.
Orang cerdas berbeda dengan orang pandai. Orang cerdas tidak terukur dengan ukuran akademik. Adapun orang pandai biasanya terukur dengan ukuran akademik. Itulah sebabnya, Rasulullah saw memberikan ajaran kesuksesan identik dengan kecerdasan, bukan kepandaian.Untuk menjadi cerdas tidak perlu pandai dulu secara akademik. Seorang pandai belum tentu cerdas dalam amal kehidupan sehari-harinya.
Pemahaman dalam hadis ini, harus menjadikan seorang muslim-mukmin merubah Cara Berpikir-nya. Ternyata, mental menjadi orang lemah dapat menimpa siapa pun. Sekalipun kuliah, bergelar profesor, bergelar ustadz, berkedudukan apa saja, jika diaal-‘ājiz, dia termasuk orang lemah.
Seseorang yang tertimpa sikap mental dan perilakual-‘ājizdi keseharian hidup pasti terkena penyakit: Lemah; Malas; dan Latah (LML). Dan, inilah yang disadari oleh seorang Cornelis de Houtman, guna menaklukkan Nusantara yang ketika itu adalah mayoritas kesultanan Islam. Dia sadar, jika seorang muslim-mukmin rata-rata bermentalkanal-kayyis, Cornelis tetap pada prinsipnya, jika kesultanan Islam di Nusantara masih berpegang teguh dengan ke-kayyis-annya, sulit untuk ditaklukkan. Maka, dia berketatapan hati, segenap masyarakat Nusantara harus di-setting menjadial-‘ājiz. Ternyata Cornelis berhasil, yakni dengan ditandanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667 M. Yang berarti pula takluknya kesultanan Islam di bawah kekuasaan Sulthan Hasanudin. Yang merupakan era berakhirnya umat Islam Nusantara menjadi penjelajah lautan dan penguasa perdagangan Malaka.
Sudah saatnya para hamba Allah yang telah disebut kiai oleh masyarakat. Memegang kuat hadis ini, sehingga ke-kiai-an seseorang benar-benar mengamalkan pesan hadis di atas. Betapa lucu jika ada seorang kiai yang bermentalkan dan berperilaku tidak selayaknya seorang kiai. Itulah sebabnya, alfaqir sering mengatakan, “Mantan bajingan itu lebih baik daripada mantan kiai.”
Negeri kita memiliki banyak kiai, banyak pondok pesantren, banyak masjid dan mushalla. Mengapa terpuruk? Karena sikap mental dan perilaku kaum muslimin-mukmin di negeri ini sangat lemah. Seperti telah di-dawuh-kan oleh Rasulullah saw dalam hadis di atas. Akibatnya, dapat dilihat sendiri, bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini ternyata sikap mentalnya: Lemah; Malas; dan Latah (LML). Sangat memprihatinkan.
Siapa pun dari kita, sekalipun tidak dipanggil kiai, mari amalkan pesan hadis di atas. Sehingga di keseharian hidup ini kita memiliki perilaku kiai. Yakni, perilaku dan sikap mental sebagi orang cerdas di sisi Allah swt. Jika ada pertanyaan, “Siapa kiai itu?” Jawabnya, “Dia adalahal-kayyis”. Yakni, seorang yang cerdas, yang ditandai dengan selalu mengevaluasi diri dan senantiasa berpikir untuk beramal guna kehidupan akhirat. Menejemen evaluasi sangat berguna bagi seseorang yang hendak menjadi sosokManusia Mulia(Human Elyon). Di mana dia sadar benar, bahwa untuk menunjang kesuksesan dirinya, dia harus banyak berpikir mengenai keburukan dan kekurangan yang terdapat pada diri sendiri. Sehingga munculKecerdasan Rasa(Intuitional Quotiens), bahwa dirinya harus berubah dan terus berubah ke arah yang lebih baik, berkemanfaatan dan memiliki nilai guna bagi orang lain serta makhluk lain
Inilah jiwa seorang kiai. Di mana seorang kiai itu Cara Berpikir-nya lebih pada aspek pengamalan dalam kehidupan nyata setiap hari, sebagai akibat langsung dari pemahaman terhadap dinul Islam yang komprehensif lagi integral. Seorang kiai adalah seorang pekerja sosial-edudakwah. Tidak lebih dari itu. Kiai adalah sebutan dari masyarakatnya. Bukan seseorang yang menyebut dirinya sendiri dengan kiai. Sebab, kiai adalah seorangal-kayyis.
Maka, menjadi tidak masuk akal alias lucu, manakala ada seseorang yang menyebut dirinya sendiri dengan kiai. Lalu, menjadikan ke-kiai-annya tersebut untuk sarana mengumpulkan materi dan harta benda, di samping dijadikan alat untuk memperoleh kedudukan. Padahal yang seharusnya dimiliki seorang kiai, bahwa ke-kiai-an seseorang merupakan privasi yang tidak boleh dipamerkan, apalagi untuk mengejar populeritas. Inilah penyebab datangnya petaka secara kolektif. Karena ada seorang kiai yang telah mengalami metamorfosa menjadial-‘ājiz, tetapi masih menampilkan diri sebagai seorang kiai.
Marilah kita segera berperilaku dan memiliki sikap mental sebagai seorangal-kayyis. Sehingga kehidupan kita dari waktu ke waktu terus mengalami pertambahan kebaikan, di samping terus mengalami percepatan yang dahsyat.
Karena akal berfungsi mengendalikan diri. Maka, kita harus menjadikan akal tersebut sebagai media yang tangguh, guna mendapatkan rahmat Allah azza wa jalla. Akal yang lurus lagi benar, disebabkan si pemilik akal mendampinginya dengan wahyu Allah swt. Dengan demikian lahirlah Kecerdasan Berpikir dengan menetapkan pilihan hidup sebagai seorang al-kayyis; insya Allah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI