Maka, tak heran jika kewajiban membayar royalti ke lembaga nasional terasa begitu jauh dari realitas mereka. Fokus utama mereka adalah menghibur penonton dan menjaga hubungan baik agar dapur tetap mengepul. Pilihan menyebut Sidoarjo dan Gresik adalah untuk menangkap suara ribuan musisi yang hidup dalam ekonomi berbasis relasi, bukan transaksi formal.
Di sisi lain, bagi pemilik warung kopi, pungutan royalti jelas terasa memberatkan. Dengan keuntungan yang sering kali pas-pasan, musik dianggap sebagai "pelengkap" untuk memikat pelanggan, bukan sumber pendapatan utama. Ditambah lagi, ada faktor budaya ewuh pakewuh, sebuah rasa segan untuk menolak atau banyak bertanya, yang membuat mereka akhirnya membayar meski dengan berat hati.
Penting digarisbawahi, analisis ini tidak bermaksud meniadakan hak para pencipta lagu. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah cara penegakannya yang terkesan "pukul rata". Apakah adil menyamakan tarif royalti untuk warung kopi kecil di Jombang dengan sebuah kelab malam mewah di kota besar?
Fenomena dangdut koplo yang lahir dari rahim budaya Jawa Timur semakin menunjukkan rumitnya persoalan. Koplo hidup dari kreativitas aransemen ulang dan energi panggung. Bagi penonton, "pemilik" lagu saat itu adalah sang penyanyi yang tampil memukau, bukan pencipta aslinya, sebuah konsep kepemilikan komunal yang berbeda dari logika hukum hak cipta.
Jika terjadi masalah, sanksi dalam dunia cangkrukan bersifat sosial: reputasi buruk atau dijauhi komunitas. Sanksi ini terasa langsung dan efektif. Sebaliknya, sanksi hukum dari negara---berupa denda atau ancaman pidana---terasa seperti intervensi asing yang dingin dan berisiko merusak tatanan sosial.
Lalu, adakah jalan tengah? Sebuah pendekatan yang peka secara budaya tentu akan menyarankan solusi yang lebih kontekstual. Mungkin perlu ada pembedaan tarif yang jelas berdasarkan skala usaha, atau sosialisasi yang lebih humanis dan transparan.
Inti dari persoalan royalti ini sejatinya melampaui urusan uang semata. Apa yang kita saksikan adalah pertarungan antara logika hukum modern yang seragam dengan praktik budaya yang hidup dan kontekstual. Keberhasilan sebuah aturan, pada titik ini, tidak bisa lagi diukur dari banyaknya pungutan, melainkan dari seberapa dalam rasa keadilan yang dirasakannya oleh masyarakat.
Oleh karena itu, dialog antara legislator, LMKN, pelaku usaha, dan komunitas seniman lokal menjadi kunci. Memahami "hukum" yang hidup di warung kopi sama pentingnya dengan memahami hukum yang tertulis di lembaran negara. Hanya dengan menjembatani dua dunia inilah, harmoni yang adil dapat tercipta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI