Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Benarkah NU Tak Akan Terlibat Dukung-mendukung di Pemilu 2024?

20 September 2023   08:08 Diperbarui: 20 September 2023   08:24 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang NU (Koleksi Pribadi)

Lima bulan menjelang pelaksanaan pemilu 2024, organisasi islam terbesar Indonesia Nahdlatul Ulama atau NU menggelar Musyawarah Nasional atau Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar.

Dua agenda kegiatan itu memang merupakan salah satu bagian dari beberapa program kerja NU. Yang secara otoritas memiliki kedudukan di bawah Muktamar. Jadi, keputusan yang dikeluarkan mengikat bagi seluruh warga NU.

Merekam dari berbagai media, salah satu keputusan yang dikeluarkan adalah munculnya rekomendasi tentang sikap NU terhadap perkembangan politik termutakhir. Wa bil khusus soal calon-mencalon.

Adapun isi rekomendasi dimaksud adalah : “NU tak tertarik untuk terlibat dalam politik dukung-mendukung satu nama atau satu partai”, tegas Gus Ulil Absar Abdallah selaku Ketua Komisi Rekomendasi (Kompas.com, 19/09/2023).

Sejak Muktamar 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo Jawa Timur, NU menyatakan diri sebagai organisasi khittah. Tak lagi ikut terlibat secara aktif atau merupakan bagian dari satu partai politik.

Namun yang sering menjadi rancu di kalangan masyarakat umum, dan khususnya bagi warga nahdliyin adalah masalah aplikasi dan kedudukan seorang pengurus. Dua masalah ini malah sering menjadikan khittah NU jadi kurang jelas wujudnya.


Secara organisasi, NU memiliki beberapa perangkat. Dimaksudkan untuk mensupport seluruh program kerja yang dirumuskan oleh NU saat pelaksanaan Muktamar yang siklusnya lima tahunan itu.

Ada tiga komponen perangkat NU. Yaitu Struktur Organisasi, Lembaga dan Badan Otonom. Semua pengurus di ketiga komponen ini wajib tunduk kepada semua keputusan NU. Termasuk dalam soal khittah. Makanya, mereka dilarang terlibat dalam politik praktis.

Tentang Struktur NU, ini ada kaitan dengan kewilayahan. Memiliki susunan hirarki sebagai berikut : PBNU di Jakarta, PWNU di Provinsi, PCNU di Kabupaten atau PCI di Luar Negeri, MWCNU di Kecamatan dan Ranting NU di Desa/Kelurahan.

Tentang Lembaga, adalah komponen yang menangani kemasyarakat yang perlu penanganan khusus. Contoh Lembaga NU misalnya LDNU yang mengurusi soal Dakwah, LP Ma’arif soal pendidikan dan sebagainya.

Tentang badan Otonom, adalah komponen NU yang terkait dengan profesi dan kelompok umur serta punya anggota khusus perorangan. Disini ada misalnya Muslimat NU bagi ibu-ibu.

Lalu ada Fatayat NU bagi anak muda perempuan, GP Ansor bagi anak muda laki-laki, PMII bagi mahasiswa, Jatman bagi yang suka mendalami thariqah, Sarbumusi bagi mereka yang punya profesi buruh/karyawan/tenaga kerja dan sebagainya.

Berdasar hasil Muktamar Situbondo, yang kemudian dirumuskan dalam bentuk AD/ART Organisasi, yang terkena aturan khittah bukan hanya personil yang ada di struktur pengurus.

Tapi juga yang duduk di Lembaga dan Badan Otonom. Maka itu, yang tidak boleh terlibat dukung mendukung dalam politik bukan hanya Gus Yahya sebagai Ketum PBNU misalnya. Adiknya yang bernama Gus Yaqut sebagai Ketum GP Ansor, juga terkena aturan khittah.

NU memang sudah tidak lagi berpolitik secara praktis. Istilahnya, harus netral lah. Tidak ke kanan, apalagi ke kiri. NU memiliki jarak yang sama terhadap berbagai kekuatan politik.

Pertanyaannya kemudian, apakah sikap dukung mendukung dianggap sama posisinya dengan tolak menolak..? Lalu, apakah pernyataan politik seorang pengurus harian bisa dinafikkan sebagai bukan sikap resmi NU..?

Itu yang saya sebut di atas menjadi kebingungan bagi masyarakat umum dan warga nahdliyin sendiri. Akibatnya, karena terdapat penyikapan beragam, lalu berimbas pada keterbelahan.

Bahkan kadang konflik. Sebagaimana terjadi belakangan ini. Langsung saya sebut saja soal Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang menjadi cawapres Anies Baswedan.

Diakui atau tidak, ada semacam perseteruan yang bahkan terkesan agak terang-terangan antara Gus Yahya dan adiknya Gus Yaqut yang ada di struktur NU, “melawan” Gus atau Cak Imin yang merupakan Ketua Umum PKB.

Meski mereka bertiga masih terhitung sepupuan, perseteruan kadang terumbar di media. Akibatnya, para pendukung juga “bertikai”. Sebagai wujud pembelaan terhadap posisi masing-masing.

Dalam pengamatan saya, perseteruan yang mengatasnamakan khittoh tersebut terjadi karena fokus pemikiran kita hanya tertuju pada kata mendukung. Sementara lawan katanya, yaitu menolak, seringkali diabaikan.

Ya benar. Tak bermaksud membela salah satu diantara ketiga Gus diatas, baik Gus Yahya maupun Gus Yaqut akhir-akhir ini seringkali melontarkan pernyataan yang terkesan menolak terhadap eksistensi PKB dan Cak Imin.

Anda tahu kan, bahwa kata menolak tersebut tak lain tak bukan merupakan lawan kata dari mendukung. Artinya, kedua kata tersebut berada di ruang lingkup yang sama. Posisinya saja yang berbeda.

Begini ilustrasinya. Jika anda mendukung satu kelompok, maka anda berada di posisi sedang menolak kelompok lain. Dan sebaliknya, jika anda menolak satu kelompok, sebenarnya anda telah mendukung kelompok lain.

Dikutip dari berbagai sumber, suatu ketika Gus Yahya pernah menyatakan bahwa “PKB bukan representasi NU”. Ini terkesan sebagai sebuah penolakan terhadap eksistensi PKB yang secara historis tak bisa dipungkiri ada kaitan dengan NU.

Yang teranyar, Gus Yaqut berpidato, bahwa memilih AMIN, yang merupakan akronim dari pasangan capres cawapres Anies-Cak Imin yang di usung oleh Nasdem, PKB dan PKS, adalah perbuatan bid’ah.

Dua jenis lontaran dari kakak beradik tersebut tak dapat dipungkiri ada dalam koridor penolakan. Pertanyaanya kemudian, apakah penolakan demikian tidak juga berarti sebagai dukungan kepada golongan lain..?

Mengapa, karena begitu Gus Yahya dan Gus Yaqut ada di posisi menolak, itu sama artinya dengan bentuk dukungan kepada pihak berbeda selain PKB dan Cak Imin. Meskipun tak dinyatakan secara terang-terangan.

Kalau begitu, apakah pernyataan kedua beliau masih bisa dikatakan sebagai bentuk aplikasi dari khittah NU..? Dalam konteks pileg dan pilpres 2024, apakah tidak lebih baik tanpa lontaran pernyataan yang seakan-akan menggiring kepada satu pihak.?

Beberapa pertanyaan tersebut layak mendapat jawaban. Agar warga NU menjadi tercerahkan dan tidak menimbulkan pengkotakan. Juga menghindari munculnya kesan tak mau ke PKB dan Cak Imin karena alasan personal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun