Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini mulai digalakkan dan menjangkau daerah secara meluas. Wacana yang semula hanya terdengar di berita nasional, kini perlahan menjadi nyata di berbagai sekolah.
Beberapa lembaga pendidikan di kota besar bahkan sudah mulai menjalankan uji coba. Sementara di sekolah anak saya, yang kebetulan juga satu yayasan dengan tempat saya berkarya, program ini belum berjalan, meski gaung dan harapannya mulai terasa.
Sebagai seorang ibu sekaligus pendidik, saya sering membayangkan seperti apa keseharian kami jika kelak MBG benar-benar hadir di lingkungan sekolah.
Akan seperti apa suasana pagi kami tanpa rutinitas menyiapkan bekal? Bagaimana pengelolaan uang jajan anak akan berubah? Pertanyaan-pertanyaan kecil itu muncul, bukan karena saya ragu terhadap programnya, melainkan karena saya sudah terbiasa menjalani pola hidup yang sedikit berbeda sejak lama.
Kebiasaan Membawa Bekal
Selama ini, saya dan anak saya punya kebiasaan yang cukup konsisten: kami membawa bekal makanan dari rumah. Bekal sederhana, namun menenangkan; nasi putih hangat, lauk rumahan, kadang sepotong tahu, sayur bening, dan potongan buah. Tidak ada yang istimewa, tetapi justru di situlah nilai keintimannya. Saya tahu apa yang dimakan anak saya, dan ia pun tahu siapa yang menyiapkannya dengan penuh kasih. Dalam setiap suapan, ada aroma rumah yang menenangkan hati di tengah hiruk pikuk sekolah.
Kami juga punya kebiasaan tidak membawa uang jajan setiap hari. Bagi kami, makan siang bukan ajang jajan, tapi waktu untuk berbagi cerita dan energi. Uang saku baru saya berikan bila anak saya harus mengikuti kegiatan tambahan seperti kelas sore atau ekstrakurikuler yang membuatnya pulang lebih lama dari biasanya. Bahkan untuk urusan kas kelas pun, kami sudah menjadwalkan dengan rapi, dibayar setiap minggu, dengan dana yang sudah disiapkan sejak awal.
Kebiasaan ini sudah terbentuk sejak anak-anak saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Bagi kami, pola hidup seperti ini sudah menjadi bagian dari keseharian, bukan paksaan. Maka ketika mendengar kabar tentang MBG yang akan menyasar ke sekolah-sekolah, saya merasa bersyukur. Kami seolah sudah menjalani “latihan” kecil sebelum program itu ada. Bedanya, nanti saya mungkin tak perlu lagi bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal setiap hari.
Namun, saya sadar, meski MBG hadir membawa keringanan bagi orangtua, ada hal lain yang tetap harus diatur dengan bijak: uang jajan.
Dana Siaga
Bagi sebagian keluarga, hadirnya program MBG mungkin dianggap sebagai penghapus total kebutuhan uang saku. Tetapi bagi saya, uang jajan tetap memiliki makna tersendiri. Ia bukan semata alat transaksi, melainkan sarana pendidikan karakter. Lewat uang jajan, anak belajar mengelola, menimbang keinginan, dan mengenal batas.
Saya justru tidak ingin anak saya menjadi terlalu bergantung pada fasilitas gratis. Saya ingin ia tetap menyadari bahwa setiap makanan memiliki nilai, tidak hanya dari segi harga, tetapi juga dari proses dan jerih payah di baliknya. Karena itu, sekalipun nanti MBG diterapkan di sekolahnya, saya akan tetap menyisihkan sedikit uang sebagai dana siaga.
Uang kecil itu bukan untuk dihambur-hamburkan, tetapi disiapkan sebagai bentuk antisipasi. Misalnya, ketika menu MBG hari itu tidak sesuai selera atau tidak cukup membuatnya kenyang, ia bisa menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan tambahan.
Anak-anak punya selera dan suasana hati yang cepat berubah. Kadang mereka ingin sekadar menikmati roti isi, gorengan hangat, atau es teh di kantin bersama teman. Memberikan sedikit ruang bagi keinginan semacam itu bukan bentuk memanjakan, melainkan melatih mereka untuk mengenal rasa dan mengatur keinginan.