Mohon tunggu...
Yayuk CJ
Yayuk CJ Mohon Tunggu... Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Mengatur Uang Jajan di Era Makan Bergizi Gratis (MBG)

17 Oktober 2025   21:00 Diperbarui: 19 Oktober 2025   00:30 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan bekal bersama - Dokumentasi pribadi

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini mulai digalakkan dan menjangkau daerah secara meluas. Wacana yang semula hanya terdengar di berita nasional, kini perlahan menjadi nyata di berbagai sekolah. 

Beberapa lembaga pendidikan di kota besar bahkan sudah mulai menjalankan uji coba. Sementara di sekolah anak saya, yang kebetulan juga satu yayasan dengan tempat saya berkarya, program ini belum berjalan, meski gaung dan harapannya mulai terasa.

Sebagai seorang ibu sekaligus pendidik, saya sering membayangkan seperti apa keseharian kami jika kelak MBG benar-benar hadir di lingkungan sekolah. 

Akan seperti apa suasana pagi kami tanpa rutinitas menyiapkan bekal? Bagaimana pengelolaan uang jajan anak akan berubah? Pertanyaan-pertanyaan kecil itu muncul, bukan karena saya ragu terhadap programnya, melainkan karena saya sudah terbiasa menjalani pola hidup yang sedikit berbeda sejak lama.

Kebiasaan Membawa Bekal

Selama ini, saya dan anak saya punya kebiasaan yang cukup konsisten: kami membawa bekal makanan dari rumah. Bekal sederhana, namun menenangkan; nasi putih hangat, lauk rumahan, kadang sepotong tahu, sayur bening, dan potongan buah. Tidak ada yang istimewa, tetapi justru di situlah nilai keintimannya. Saya tahu apa yang dimakan anak saya, dan ia pun tahu siapa yang menyiapkannya dengan penuh kasih. Dalam setiap suapan, ada aroma rumah yang menenangkan hati di tengah hiruk pikuk sekolah.

Kami juga punya kebiasaan tidak membawa uang jajan setiap hari. Bagi kami, makan siang bukan ajang jajan, tapi waktu untuk berbagi cerita dan energi. Uang saku baru saya berikan bila anak saya harus mengikuti kegiatan tambahan seperti kelas sore atau ekstrakurikuler yang membuatnya pulang lebih lama dari biasanya. Bahkan untuk urusan kas kelas pun, kami sudah menjadwalkan dengan rapi, dibayar setiap minggu, dengan dana yang sudah disiapkan sejak awal.

Kebiasaan ini sudah terbentuk sejak anak-anak saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Bagi kami, pola hidup seperti ini sudah menjadi bagian dari keseharian, bukan paksaan. Maka ketika mendengar kabar tentang MBG yang akan menyasar ke sekolah-sekolah, saya merasa bersyukur. Kami seolah sudah menjalani “latihan” kecil sebelum program itu ada. Bedanya, nanti saya mungkin tak perlu lagi bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal setiap hari.

Namun, saya sadar, meski MBG hadir membawa keringanan bagi orangtua, ada hal lain yang tetap harus diatur dengan bijak: uang jajan.

Dana Siaga

Bagi sebagian keluarga, hadirnya program MBG mungkin dianggap sebagai penghapus total kebutuhan uang saku. Tetapi bagi saya, uang jajan tetap memiliki makna tersendiri. Ia bukan semata alat transaksi, melainkan sarana pendidikan karakter. Lewat uang jajan, anak belajar mengelola, menimbang keinginan, dan mengenal batas.

Saya justru tidak ingin anak saya menjadi terlalu bergantung pada fasilitas gratis. Saya ingin ia tetap menyadari bahwa setiap makanan memiliki nilai, tidak hanya dari segi harga, tetapi juga dari proses dan jerih payah di baliknya. Karena itu, sekalipun nanti MBG diterapkan di sekolahnya, saya akan tetap menyisihkan sedikit uang sebagai dana siaga.

Uang kecil itu bukan untuk dihambur-hamburkan, tetapi disiapkan sebagai bentuk antisipasi. Misalnya, ketika menu MBG hari itu tidak sesuai selera atau tidak cukup membuatnya kenyang, ia bisa menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan tambahan.

Anak-anak punya selera dan suasana hati yang cepat berubah. Kadang mereka ingin sekadar menikmati roti isi, gorengan hangat, atau es teh di kantin bersama teman. Memberikan sedikit ruang bagi keinginan semacam itu bukan bentuk memanjakan, melainkan melatih mereka untuk mengenal rasa dan mengatur keinginan.

Peran Aktif dan Kreatif Orangtua di Era MBG

Saya melihat, peran orangtua di era MBG bukan hanya mendukung kebijakan pemerintah, tetapi juga menyiapkan anak untuk tetap bijak dalam kelimpahan. Program makan gratis bukan berarti anak boleh mengabaikan rasa syukur atau menjadi tidak peka terhadap nilai makanan. Sebaliknya, justru di saat semua serba mudah inilah anak perlu belajar untuk menghargai setiap rezeki, tidak boros, dan tetap bersikap sederhana.

Di sisi lain, orangtua juga perlu menyesuaikan pengaturan keuangan keluarga. Dana yang sebelumnya rutin digunakan untuk menyiapkan bekal bisa dialihkan ke pos lain, misalnya tabungan pendidikan, dana darurat, atau kegiatan pengembangan minat anak. Dengan begitu, kehadiran MBG tidak hanya membawa manfaat gizi, tetapi juga membantu keluarga untuk memperkuat literasi finansial secara sederhana.

Sebagai seorang guru, saya pun melihat nilai edukatif lain dari program ini. MBG dapat menjadi sarana pembelajaran kontekstual bagi siswa: belajar tentang gizi seimbang, manajemen dapur, bahkan etika makan bersama. Namun, semua itu akan lebih bermakna jika di rumah anak-anak juga mendapatkan teladan tentang cara menghargai makanan dan mengatur uang.

Selalu Bersyukur

Saya membayangkan, suatu hari nanti ketika MBG benar-benar diterapkan di sekolah kami, saya tetap akan menyelipkan pesan kecil di tas anak saya, seperti dulu saat menyiapkan bekal. Pesan itu mungkin berbunyi, “Jangan lupa bersyukur, makanlah dengan gembira, dan bijaklah menggunakan uangmu.” Pesan sederhana, namun sarat makna kehidupan.

Sebab pada akhirnya, makan bergizi gratis bukan sekadar soal kenyang atau bantuan ekonomi. Ia adalah peluang untuk menumbuhkan karakter, rasa syukur, kesadaran, dan kebijaksanaan kecil dalam diri anak-anak kita.

Dan bagi saya pribadi, MBG tidak akan menghapus makna kebersamaan yang selama ini terjalin lewat rutinitas bekal pagi. Justru program itu akan memperluas makna berbagi: dari dapur keluarga ke meja makan sekolah, dari satu piring nasi ke kesadaran kolektif bahwa setiap orang berhak mendapatkan makanan bergizi.

Namun di atas semua itu, saya ingin anak saya terus memelihara nilai kesederhanaan. Bahwa cukup bukan berarti berlimpah, melainkan tahu kapan berhenti. Bahwa rasa kenyang tidak hanya datang dari makanan, tetapi juga dari rasa syukur di hati.

Mungkin nanti saya tak lagi menyiapkan bekal setiap pagi, tetapi nilai yang saya tanamkan melalui setiap suapan itu akan tetap menjadi bekal hidupnya. Ia akan tumbuh dengan pemahaman bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar, melainkan dari hal kecil yang dilakukan dengan cinta, termasuk cara kita mengatur uang jajan di era makan bergizi gratis. Salam hangat! (Yy).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun