Perkembangan musik rock di Malang sejak 1960-an hingga 1990-an memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dari kota besar lainnya. Meski mengikuti arus globalisasi, apresiasi dan kreativitas seniman musik rock di kota ini luar biasa. Malang mencetak pionir yang mengukir sejarah musik rock nasional seperti Ian Antono, Abadi Soesman, Ucok Harahap, Teddy Sudjaya, Totok Tewel, Noldiek, Wiwie Gang Voice, hingga Sylvia Saartje.
Di era 1980-an, Kota Malang dikenal sebagai barometer musik rock Indonesia. Tidak heran, karena saat itu masyarakat Malang memiliki antusiasme tinggi terhadap musik rock. Band-band lokal pun banyak bermunculan dan tampil di berbagai acara. Kota dingin ini juga menjadi tolok ukur bagi band-band luar kota yang ingin menguji kemampuan mereka di panggung rock.
Sylvia Saartje: Sang Lady Rocker Pertama Indonesia dari Malang
Tak bisa bicara musik rock Malang tanpa menyebut Silvia Saartje atau akrab disapa Jippie. Ia dikenal sebagai Lady Rocker pertama Indonesia, yang kariernya melejit usai manggung pertama kali di GOR Pulosari bersama The Rollies pada medio 1973. Kala itu, ia tampil energik bersama band Tornado. Selain menjadi vokalis Tornado, Jippie juga kerap menjadi vokalis cabutan untuk band Avia, Elvira, dan Bentoel.
Sylvia Saartje sudah membuka jalan bagi rocker perempuan Indonesia jauh sebelum booming istilah lady rockers di era 1980-an yang melekat pada sosok Nicky Astria, Nike Ardilla, Mel Shandy, Ita Purnamasari, Yosie Lucky, Ayu Laksmi, Atiek CB, Lady Avisha, Cut Irna, dan masih banyak lagi.
Salah satu penampilannya yang paling fenomenal adalah saat tampil di ajang Vacancy Rock yang digelar oleh Majalah Aktuil, berduet panggung dengan God Bless. Jippie seperti dinamit yang meledak saat membawakan lagu-lagu Deep Purple dan Led Zeppelin. Teriakan penonton yang meluber sampai ke jalan membuat Jippie semakin menggila.
Sejumlah media lantas menjulukinya Lady Rock pertama Indonesia setelah penampilan gemilang tersebut. Menurut Jippie, ia bisa sampai di titik itu karena "dimenangkan jaman" dan tinggal di Malang yang penontonnya terkenal kritis. Ia bangga diapresiasi di kotanya sendiri, meski awalnya sempat jiper.
Skena Musik Malang Era 1960-an hingga 1990-an
Skena musik Malang pada era 1960-an bertempat di Gedung Tjendrawasih (Gedung Kesenian Gajayana), era 1970-an bergeser ke Gedung Tenun atau Lapangan Tenun, dan era 1980-an berada di Gedung Olah Raga (GOR) Pulosari yang dijuluki “angker”.
Skena musik pada empat dekade ini (1960-1990), juga bertempat di Stadion Gajayana sebagai gedung megah yang dibangun pada 1924 dan diresmikan pada tahun 1926. Di stadion tertua di Indonesia ini segala bentuk pertunjukan dan event-event akbar baik musik, segala bentuk kesenian, juga olah raga.