Kisah pertobatannya bukan hanya menyentuh, tapi juga membakar semangat pewartaan. Barnabas melanjutkan pewartaan Injil dengan penuh semangat, berkeliling kampung, mengajar, dan membimbing orang-orang mengenal Kristus.Â
Dedikasi luar biasa ini membuatnya dianugerahi penghargaan Pro Ecclesia et Pontifice dari Paus Pius XI pada 1929. Semangatnya menjadi warisan iman yang hidup hingga kini.
Membangun Tempat Doa: Dari Sendang Menjadi Gua Maria
Pada 1923, seorang imam Jesuit, Romo JB Prennthaler, SJ, menggagas pembangunan tempat doa di lokasi baptisan pertama tersebut. Patung Bunda Maria didatangkan dari Swiss dan diangkut sejauh 30 kilometer dari Sentolo. Tiga tahun kemudian, pada 8 Desember 1929, Gua Maria Sendangsono resmi diberkati dan dibuka sebagai tempat ziarah.
Gua ini dibangun sebagai ungkapan syukur umat Kalibawang atas iman yang mereka terima. Di tempat inilah, umat datang dengan hati hening, membawa harapan, luka, syukur, dan doa. Lonceng berdentang tiga kali sehari, pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore, mengundang umat masuk dalam keheningan doa Angelus.
Tahun 1958, dibangun 14 stasi Jalan Salib, dan pada tahun 2000 berdiri Salib Milenium sebagai simbol iman umat di zaman baru. Di antara bangunan spiritual lainnya, terdapat Kapel Tritunggal Mahakudus, Kapel Para Rasul, dan Kapel Maria Bunda Segala Bangsa; semuanya menjadi titik-titik peziarahan yang menggugah permenungan.
Romo Mangun dan Arsitektur yang Menyatu dengan Jiwa Jawa
Pada 1969, Gua Maria Sendangsono mengalami penataan ulang oleh Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, imam sekaligus arsitek yang dikenal memiliki kepedulian tinggi terhadap budaya dan spiritualitas lokal. Ia menerapkan konsep Wastu Citra, yakni filosofi bangunan yang tidak hanya indah dilihat, tetapi mengandung makna jiwa budaya.