Kalau teman-teman pernah ke Kota Batu dan mampir ke Selecta, mungkin yang terbayang pertama kali adalah hamparan bunga warna-warni, udara sejuk yang menyapa lembut, dan suara anak-anak kecil yang tertawa riang di sekitar kolam.
Tapi, siapa sangka, tempat yang kini ramai jadi destinasi wisata keluarga ini dulunya adalah tempat peristirahatan para pejabat Belanda?
Ya, Selecta yang berlokasi di Jalan Raya Selecta nomor 1, desa Tulungrejo, kecamatan Bumiaji, kota Batu ini bukan sekadar taman rekreasi biasa.
Di balik keindahan bunganya dan sejuknya udara pegunungan, tempat ini menyimpan sejarah panjang sejak zaman kolonial. Nama Selecta berasal dari bahasa Belanda selectie yang berarti pilihan.
Konon, para pejabat tinggi Belanda datang ke sini untuk melepas penat, jauh dari panasnya kota dan hiruk-pikuk urusan pemerintahan.
Mereka menikmati tenangnya alam Batu, dulu dikenal sebagai “De Kleine Zwitserland” atau “Swiss Kecil” di tanah Jawa.
Kini, Selecta tak lagi eksklusif. Ia terbuka untuk siapa saja: anak-anak, orang tua, pasangan muda, bahkan rombongan piknik dari berbagai kota. Tapi jejak masa lalunya tak benar-benar hilang.
Masih ada sisa-sisa bangunan lama, suasana taman klasik, dan cerita-cerita yang menunggu untuk ditemukan kembali oleh kita, para pejalan yang percaya bahwa setiap tempat punya kisahnya sendiri.
Sejarah Singkat Selecta
Selecta lahir bukan dari tangan orang Jawa, melainkan seorang Belanda bernama Ruyter de Wildt. Ia membangun tempat wisata ini selama delapan tahun (1920-1928), sebuah tempat peristirahatan di lereng Gunung Arjuno yang sunyi, jauh dari keramaian, dan punya udara yang sejuk menyegarkan.
Di sanalah awal mula Selecta berdiri, bukan sebagai taman bunga seperti sekarang, tapi lebih mirip vila-vila mewah untuk kalangan atas yang ingin “melarikan diri” dari panasnya Surabaya atau hiruk-pikuk Batavia.
Tempat ini dikenal hanya oleh kalangan tertentu. Para pejabat pemerintahan Hindia Belanda, pengusaha Eropa, dan bangsawan kolonial sering datang ke Selecta untuk beristirahat, menikmati keheningan alam, atau sekadar minum teh sore dengan pemandangan pegunungan. Tak heran jika Selecta dulu mendapat julukan sebagai tempat “elite” yang tidak semua orang bisa masuk seenaknya.
Tempat Tujuan Khusus Tokoh Bangsa
Presiden Soekarno dan beberapa tokoh nasional Republik Indonesia pernah menyelenggarakan pertemuan di tempat ini, tepatnya di "Villa Brandarice" yang sekarang berganti nama Bima Sakti. Di tempat inilah, wakil presiden Ir. Moh. Hatta mencetuskan sistem ekonomi koperasi dan ekonomi kerakyatan.
Pada masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan Indonesia, Selecta sempat mengalami masa-masa sulit. Banyak bangunan rusak, pengunjung sepi, dan kawasan ini seperti tertidur panjang.
Namun perlahan, tempat ini bangkit kembali. Pemerintah daerah dan masyarakat sekitar mulai merawat dan mengembangkan kembali kawasan ini menjadi taman wisata yang bisa diakses semua kalangan.
Meski wujudnya berubah, bayangan masa lalu itu masih terasa. Di antara bunga dan kolam, berdiri bangunan bergaya Belanda yang masih kokoh berdiri. Jalan setapak yang rindang seakan menyimpan bisik-bisik sejarah.
Selecta hari ini mungkin telah jadi milik semua orang, tapi ia tak kehilangan jati dirinya sebagai saksi bisu peralihan zaman, dari kolonialisme menuju kemerdekaan, dari eksklusivitas menuju kebersamaan.
Menjadi Milik Semua
Seiring bergulirnya waktu dan bergantinya kekuasaan, Selecta pun ikut mengalami perubahan nasib. Setelah masa kolonial berakhir dan Indonesia merdeka, tempat yang dulu hanya bisa dinikmati oleh kaum elite Eropa ini sempat terbengkalai. Beberapa bangunan mulai rusak, taman-tamannya tak lagi terurus, dan gaung Selecta perlahan meredup.
Namun, seperti alam pegunungan yang selalu tahu caranya menyembuhkan, Selecta tak benar-benar hilang. Ia hanya tertidur sebentar. Pada dekade 1950-an hingga 1970-an, tempat ini mulai dibangkitkan kembali oleh masyarakat sekitar dan pemerintah daerah.
Bangunan direnovasi, taman dibuka untuk umum, dan perlahan-lahan Selecta berubah wajah, dari tempat peristirahatan eksklusif menjadi taman rekreasi keluarga.
Tak lagi ada batas-batas sosial seperti zaman kolonial dulu. Kini siapa pun bisa datang: petani dari lereng, anak-anak sekolah dari kota, ibu-ibu rombongan PKK, bahkan wisatawan dari luar negeri. Semua bisa duduk santai di bangku taman, menikmati udara sejuk Batu, dan membiarkan bunga-bunga berbicara dalam diam.
Selecta juga terus berbenah mengikuti zaman. Ada kolam renang, wahana permainan anak, hotel, kebun bunga warna-warni, dan berbagai fasilitas lain yang membuatnya tetap relevan bagi generasi masa kini.
Namun menariknya, ia tetap mempertahankan nuansa klasiknya, sentuhan kolonial di arsitektur bangunan, lorong-lorong taman bergaya Eropa tropis, dan suasana tenang yang jarang bisa ditemukan di tempat wisata masa kini yang serba cepat dan bising.
Selecta bukan hanya tempat piknik, tapi ruang kenangan. Ia adalah contoh bagaimana sebuah tempat bisa berubah fungsi tanpa kehilangan jiwa. Dari tempat beristirahat para tuan dan nyonya Belanda, menjadi ruang tumbuh bersama bagi keluarga-keluarga Indonesia hari ini.
Selecta di Mata Wisatawan Masa Kini
Bagi generasi sekarang, Selecta sering dikenal sebagai “taman bunga yang Instagramable”. Tempat ini ramai dikunjungi, apalagi saat akhir pekan atau musim liburan.
Anak-anak berlarian di taman, remaja sibuk bergaya di depan hamparan celosia dan bunga kertas, sementara orang tua duduk di bangku panjang, menyesap udara dingin sambil mengenang masa-masa dulu.
Selecta seolah tahu cara menyesuaikan diri dengan zaman. Di tengah gempuran destinasi wisata baru yang serba modern, Selecta tetap percaya diri dengan identitasnya: taman yang tenang, rindang, dan penuh warna.
Spot-spot swafoto memang disediakan, setiap sudut tampak 'instagramable' untuk mengabadikan sebuah kenangan. Selecta juga masih menyisakan banyak ruang untuk mereka yang datang hanya ingin duduk, diam, atau jalan kaki pelan menyusuri lorong-lorong taman.
Ada kolam renang tua yang masih difungsikan, lengkap dengan perosotan klasik yang bikin kita tersenyum geli saat mencobanya. Ada wahana bermain anak seperti ayunan, sky bike, flying fox, dan kuda air yang cukup membuat si kecil tertawa lepas. Ada juga kebun bunga yang ditata dengan gaya semi-formal, perpaduan antara taman bergaya Belanda dengan sentuhan tropis khas Indonesia.
Tempat ini bukan sekadar destinasi wisata, tapi juga ruang nostalgia dan pelarian dari rutinitas. Di balik bunga-bunganya yang terus mekar, Selecta diam-diam memeluk kenangan banyak orang. Mungkin itu sebabnya ia tetap dicintai hingga hari ini.
Fakta Unik: Selecta, Pionir Gerakan Waste Zero di Indonesia
Tak hanya cantik dan penuh sejarah, Selecta juga patut diacungi jempol karena komitmennya terhadap lingkungan. Taman rekreasi ini menjadi salah satu pelopor gerakan waste zero di wilayah Batu. Artinya, Selecta berupaya semaksimal mungkin mengelola sampah dengan prinsip 3R: “Reduce, Reuse, Recycle”.
Pengelola Selecta bekerja sama dengan komunitas peduli lingkungan dan dinas terkait untuk memastikan bahwa sampah yang dihasilkan pengunjung tidak langsung menjadi beban alam. Hal ini menjadikan Selecta sebagai tempat wisata bebas sampah.
Tersedia tempat sampah terpilah di banyak titik, serta edukasi bagi pengunjung tentang pentingnya membuang sampah sesuai kategori. Bahkan, sebagian sampah organik dari restoran dan taman dikelola menjadi kompos untuk tanaman bunga.
Gerakan ini bukan sekadar formalitas. Selecta secara aktif mengajak pengunjung menjadi bagian dari solusi lingkungan, mulai dari mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, hingga mendorong wisatawan membawa tumbler dan kantong belanja sendiri.
Kegiatan "Launching Wisata Selecta Zero Waste Pertama di Indonesia" yang diselenggarakan pada 2 Juli 2024 lalu merupakan event bergengsi karena semua masyarakat dapat mengetahui pengelolaan sampah di Selecta.
Terdapat 10 pengelolaan sampah tersebut antara lain:
- nursery garsen
- produk kerajinan
- pengolahan briket
- pengolahan HD kresek
- pengolahan kardus
- nilai ekonomi plastik
- pakan ternak
- pupuk cair
- pupuk kompos
- pengolahan sampah residu
Di tengah maraknya wisata massal yang sering abai soal sampah, Selecta justru mengambil langkah berani: menjadi taman bunga yang bukan hanya memanjakan mata, tapi juga peduli bumi.
Tak Hanya Tempat Estetik
Selecta bukan cuma tentang taman bunga dan udara sejuk. Ia adalah ruang yang menyimpan jejak sejarah kolonial, luka dan pemulihan bangsa, serta perubahan yang pelan tapi pasti.
Dari vila eksklusif para pejabat Belanda, kini Selecta menjelma menjadi taman milik rakyat, tempat keluarga bercengkerama, anak-anak belajar mencintai alam, dan siapa pun bisa bernapas lega.
Menariknya, di tengah wajahnya yang terus dipercantik, Selecta tak melupakan tanggung jawabnya terhadap bumi. Ia belajar untuk menjadi taman yang tidak hanya memanjakan mata, tapi juga menjaga lingkungan tempatnya tumbuh.
Dalam sunyi bunga yang bermekaran dan dedaunan yang berdesir, Selecta mengajarkan satu hal penting: bahwa tempat indah tak cukup hanya ada, ia perlu bertumbuh kembang dan berbelas kasih.
Barangkali itulah yang membuat Selecta tetap bertahan, bukan karena megahnya wahana, tapi karena kemampuannya menjadi tempat pulang bagi banyak kenangan, dan tempat berangkat bagi harapan yang lebih hijau.
Selecta mengajarkan bahwa tempat wisata bukan cuma soal estetika. Ia bisa menjadi ruang sejarah, ruang komunitas, dan ruang harapan. Dari kolonial ke komunal, dari eksklusif ke inklusif, dari bunga yang dipamerkan untuk bangsawan menjadi bunga yang mekar bagi siapa saja.
Salam lestari! (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI