Ritual ini dilakukan di dua tempat sakral; di Keraton Gunung Kawi dan di Pesanggrahan Keraton Gunung Kawi yang terletak di belakang atas di mana terdapat dua patung kuda hitam di samping kanan kiri pintunya.
Tak jauh dari gapura masuk terdapat tiga makam juru kunci pertama yaitu makam Eyang Broto, Eyang Djojo, dan Eyang Hamid. Setelah komplek ini terdapat dua makam pengurus pertamanan dan perkebunan; Toenggoel Manik Djaja Ningrat (Mbah Manik) dan Toenggoel Wati (Mbah Menik) yang sempat dipugar pada Januari 2010. Di makam ini tertulis angka petunjuk tahun 1115 Saka.
Di makam-makam ini setiap hari terdapat sesajen berupa bunga kenanga dan bunga sedap malam, jajan pasar, nasi, telur, dan kopi.
Tempat ini sempat ditutup pada tahun 1965, karena dianggap menjadi sarang anggota PKI yang bersembunyi dan dibuka kembali pada tahun 1974. Sebelumnya area ini belum dikelola dengan baik dan tidak dibuka secara resmi untuk umum, masih sangat sederhana sampai tahun 1978.Â
Tahun 1978-1980, tempat ini dibangun dengan lebih baik oleh donatur yang ujudnya terkabul setelah berdoa dan bertapa di tempat ini. Tahun 2013, tempat ini dikelola semakin baik dan terbuka untuk umum.
Toleransi dalam Harmoni KeberagamanÂ
Keraton Gunung Kawi menjadi contoh nyata harmoni dalam perbedaan. Yang membuatnya istimewa bukan hanya keberagaman fisiknya, tetapi juga sikap warganya yang saling menghormati.Â
Setiap hari besar agama, warga sekitar saling membantu dalam persiapan, tanpa membeda-bedakan. Penjual dupa, bunga, dan makanan melayani semua pembeli dengan perlakuan yang sama. Pengunjung dari berbagai latar belakang agama dapat duduk berdampingan dan berbincang tentang iman tanpa saling menyalahkan.Â
Sikap ini mencerminkan toleransi yang tulus dan mendalam, seperti yang dikatakan oleh salah satu tokoh masyarakat lokal: