(1 Petrus 2:24b)
Ayat ini begitu hidup dan saya tidak sedang mencari jawaban kenapa semua ini terjadi, tetapi saya belajar menerima bahwa di dalam penderitaan pun, Yesus hadir dengan setia.
Yesus tidak lari dari penderitaan. Ia memeluknya sampai akhir dan semua ini Ia lakukan karena kasih-Nya kepada manusia. Dan ketika saya merasa sendiri, saya tahu Dia yang tergantung di salib itu pernah merasakannya lebih dahulu bahkan lebih dahsyat dan sarat dengan kepedihan tiada tara.
Salib yang Tak Lagi Menakutkan
Dulu saya takut dengan kata ‘menderita’, namun kini saya tahu: salib bukan hanya tentang penderitaan, melainkan tentang kasih yang tidak kenal menyerah. Salib itu berat, tetapi Dia tidak pernah membiarkan saya memikulnya sendirian
Setiap teman yang datang menjenguk, setiap tangan yang membantu saya bangkit, setiap doa yang terucap dari mereka yang mengasihi, semuanya menjadi pancaran kasih dari Salib itu sendiri.
Saya pun belajar memandang salib bukan sebagai beban, tapi sebagai jalan yang membawa saya lebih dekat pada-Nya.
“Barangsiapa mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” (Markus 8:34)
Saya Tidak Sendiri
Hari Jumat Agung mengingatkan saya bahwa tidak ada penderitaan yang sia-sia jika dijalani bersama Kristus. Tangisan-Nya di taman Getsemani, sunyi-Nya saat diadili, dan sepi-Nya di atas salib, semua itu menyatu dalam setiap langkah pemulihan saya.
Perlahan saya mulai mengerti, Tuhan tidak selalu menyembuhkan luka secara instan, melainkan Ia senantiasa menyertai di setiap tetesan air mata. Ia hadir dalam diam, dalam kesabaran, dan dalam pengharapan.
Hari ini…
Saya tidak hanya memandangi salib. Saya memeluknya, karena di dalam salib dan luka-Nya yang kudus, saya temukan kekuatan dan harapan baru. Dan di tengah kelemahan, saya belajar mencintai seperti Yesus: dalam diam, dalam luka, dan dalam kesetiaan.