Mohon tunggu...
Khoirul Mustakim
Khoirul Mustakim Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah

Menyukai kegiatan travelling dengan biaya murah, tertarik dengan segala sesuatu terkait sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan Perokok: Sebuah Kajian tentang Emansipasi pada Masyarakat Jawa Abad 20

3 Desember 2022   10:38 Diperbarui: 3 Desember 2022   10:42 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret wanita Jawa yang sedang merokok duduk di tangga sebuah rumah. Ca. 1919-1930.  ðŸ“·: Wereldmuseum - Wijdnand Elbert Kerkhoff. Instagram:/potolawas

Latar Belakang

Sedikit sejarah rokok di Jawa, masyarakat Jawa mulai mengenal rokok ketika Belanda datang ke Indonesia dan menjalankan praktik tanam paksa dengan memerintahkan rakyat menanam tanaman komersil yang laku di pasar Internasional, seperti kopi, tebu, dan tembakau. Perkenalan masyarakat jawa dengan tembakau menjadikan sebuah kreatifitas bagi masyarakat Jawa yang ingin menikmati rokok dengan murah, karena harga rokok cerutu pada masa itu tidak dapat dijangkau oleh rakyat kecil. Masyarakat jawa mencampurkan rokok dengan bumbu lokal (uwur, klembak, menyan, dan belakangan di campur cengkeh), yang akhirnya berkembang menjadi rokok kretek pada saat ini.

Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok batangan maupun menggunakan pipa, rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas (Poerwadarminta, 1983). Kebiasaan merokok telah ada sejak dahulu dan terus berlanjut sampai saat ini seiring dengan perkembangan Industri yang semakin modern. Masyarakat dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, kebiasaan merokok pada suku Indian ini tujuannya lebih kepada keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh.

Merokok bagi masyarakat Jawa awalnya adalah perilaku mengikuti orang-orang Belanda dan bangsawan keraton akan tetapi masyarakat Jawa lebih memilih rokok mereka sendiri dengan menciptakan sebuah perubahan kecil pada rokok para kaum bangsawan yang cenderung mahal masa itu dan berkembang menjadi rokok kretek hingga saat ini. Merokok telah masuk dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Jawa, dari acara yang sangat sederhana yang mengundang sedikit orang seperti Sukuran sampai acara formal besar seperti acara perkawinan, rokok harus selalu disediakan. Rokok seakan-akan mampu menghapuskan stratifikasi sosial pada saat masyarakat menikmati rokok bersama-sama.

Kaum laki-laki Jawa bebas merokok sejak masa penjajahan Belanda sampai dengan saat ini namun dewasa ini banyak regulasi pemerintah yang melarang perokok menyalakan rokok di semua tempat, fasilitas-fasilitas umum selalu melarang para perokok untuk menyalakan rokoknya. Hal ini berbanding terbalik dengan para perempuan yang merokok, para perempuan ini seakan mendapat sebuah status baru jika mereka merokok di tempat umum, perempuan yang merokok akan selalu dicap sebagai perempuan nakal, dan sebagainya.

Permasalahan terhadap perempuan yang merokok, pada kenyataannya baik di Jawa maupun di Eropa, merokok bukanlah monopoli pihak kaum laki-laki, walaupun sering terdapat kesan bahwa merokok bagi perempuan Jawa adalah pengaruh dari gaya hidup modern. Sesungguhnya tradisi merokok di kalangan perempuan Jawa sudah terjadi sejak cukup lama. Merokok adalah hak individual. Di negeri dengan sistem patriarkal yang melekat dalam keseharian masyarakatnya, tidak mudah bagi perempuan untuk mengekpsresikan diri. Ada banyak hal yang kemudian menjadi tidak pantas dilakukan perempuan. Perempuan ini seakan-akan berada dalam satu ruang yang memiliki garis demarkasi antara yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Banyak hal yang tidak pantas dilakukan perempuan itu bisa dengan leluasa dilaksanakan lelaki tanpa ada pandangan buruk terhadapnya, seperti merokok misalnya. Saat ini emansipasi telah benar-benar terjadi di Jawa abad ke-19 ataukah hanya sekedar wacana yang selalu dibicarakan oleh masyarakat Jawa sepeninggal R.A Kartini tiada, Sepatutnya dikaji lebih lanjut tentang arti emansipasi pada masyarakat Jawa abad ke-20, terutama terhadap para perempuan yang merokok.

Pembahasan

Emansipasi yaitu pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (Sugihastuti, 2009:58). Emansipasi berasal dari bahasa Latin "emancipatio", artinya adalah pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dahulu, istilah ini dipakai terhadap upaya seorang anak yang belum dewasa agar lepas dari kekuasaan orang tua mereka dengan maksud untuk mengangkat derajat atau haknya.[1]

 Istilah itu secara luas digunakan untuk menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperoleh persamaan derajat atau hak-hak politik, lazimnya digunakan bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dibahas dalam hal-hal berkaitan masalah persamaan derajat. Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian lebih sering dikaitkan dengan emansipasi perempuan (baca persamaan hak dan kedudukan bagi perempuan) dalam rangka memperoleh persamaan hak, derajat, dan kebebasan seperti halnya kaum lelaki. Sejak abad ke-14 M sudah ada gerakan untuk memperjuangkan persamaan bagi perempuan yang sekarang orang lebih mengenalnya sebagai emansipasi perempuan.

Di Indonesia, gerakan emansipasi yang memperjuangkan perempuan dalam mengangkat harkat dan martabat kaumnya sudah terjadi sejak masa penjajahan Belanda pada abad ke-19. Tokoh perempuan yang paling berpengaruh waktu itu dengan pemikiran-pemikirannya bagi kaum perempuan adalah R. A Kartini dari Rembang dan Dewi Sartika dari Bandung. Perjuangan perempuan waktu itu tidak hanya berupa pemikiran melainkan perjuangan fisik yang ditandai dengan kemunculan M. Christina Tiahahu dari Maluku atau Cut Nyak Dien dari Aceh.

Gerakan feminisme yang memperjuangkan emansipasi perempuan ini seringkali salah diartikan. Emansipasi dianggap sebagai perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh persamaan hak dan kesetaraan dengan kaum laki-laki. Pada kenyataannya, kesetaraan yang terjadi antara kaum perempuan dengan laki-laki adalah kerugian perempuan itu sendiri. Karena dengan adanya persamaan hak maka kaum perempuan akan kehilangan hak kultural untuk dilindungi. Begitu sebaliknya, hak kaum laki-laki juga tidak mungkin jika disamakan dengan kaum perempuan.

Makna emansipasi yang lebih tepat adalah perjuangan kaum perempuan demi memperoleh hak untuk memilih dan menentukan nasib sendiri. Makna emansipasi juga diproyeksikan pada upaya melepaskan diri dari kungkungan mitos, ideologi dan tradisi yang tidak masuk akal dan hal-hal tabu kepada tradisi yang masuk akal manusia dalam menata kehidupannya terutama pada masyarakat yang mempunyai budaya patriarkhi yang kuat, seperti masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang kental akan budaya patriarkhi yang selalu memposisikan perempuan dalam urutan nomor dua pada semua urusan. Peran dan kedudukkan perempuan dalam sistem budaya Jawa telah menjadi pola pemikiran umum di mana tidak hanya berlaku bagi perempuan Jawa, tetapi telah menjadi pemikiran mayoritas yang membentuk pandangan stereotip untuk perempuan. Ajaran-ajaran dalam sistem budaya Jawa merupakan nilai-nilai budaya yang kurang mendukung posisi kesetaraan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan. Nilai-nilai tersebut cenderung memanjakan dan menikmatkan laki-laki dan menempatkan perempuan pada posisi nomor dua di bawah kekuasaan laki-laki. Dengan adanya nilai-nilai tersebut membuat perempuan merasa sulit berkembang sebagai pribadi dan juga menemukan jati dirinya. Hal ini akhirnya membuat perempuan merasa tidak berani dan tidak mampu untuk mengembangkan potensi yang selama ini dimiliki.

Ajaran-ajaran dalam sistem budaya Jawa yang menempatkan perempuan pada posisi nomor dua mengakibatkan banyaknya pandangan stereotip terhadap beberapa perilaku perempuan yang dapat dilakukan dengan bebas oleh kaum lelaki, salah satu dari perilaku perempuan yang banyak mendapat pandangan stereotip adalah merokok.

Hidup di Jawa sebagai perempuan dan perokok adalah sebuah masalah. Pertama karena mereka adalah perempuan, kedua karena perempuan ini juga perokok. Pada masa sekarang,  perempuan yang merokok adalah hal yang tabu, perempuan yang merokok adalah pelacur, perempuan yang merokok adalah perempuan yang tidak baik, maka dari itu ketika kaum perempuan merokok di depan umum, semua orang memandang perempuan ini dengan sebelah mata. 

Ketika seorang laki-laki merokok di Jawa, hal ini dipandang lumrah dan dipandang sebagai bagian dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat Jawa. Perempuan yang merokok tidak memiliki tempatnya dalam tatanan sosial masyarakat Jawa. Perempuan yang merokok dianggap aneh, dan dianggap nyeleneh. Padahal sebagian besar dari produksi kretek di Indonesia, semua dilinting satu per satu oleh tangan buruh rokok kretek yang cekatan dan hampir semuanya adalah perempuan. 

Pada masa awal ditemukannya kretek, sekitar abad ke-19. Perempuan di Jawa bebas merokok, perempuan ini merokok karena merokok adalah sebuah pilihan (Reza, 2012:131). Perempuan ini merokok karena itu adalah bagian dari budaya mereka. Kaum perempuan ini tidak terbebani dengan pencitraan mengenai rokok dan perempuan. Perempuan ini tidak dicekoki dengan nilai-nilai yang sempit akan kebaikan dan keburukan di balik kebiasaan merokok. Kebebasan merokok pada masa itu tergambarkan dari cerita rakyat Rara Mendut, kisah ini memberi gambaran kepada kita tentang perempuan berjasa yang berani mempertahankan harga diri, membela kehormatan, dan kewibawaan perempuan dari praktik diskriminasi, dan hegemoni budaya patriarkhal yang melekat pada masyarakat Jawa (Wibisono, 2014:22).

Kisah Roro Mendut setidaknya telah memberikan gambaran bahwa perempuan yang merokok bukanlah perempuan nakal, ataupun perempuan yang buruk. Rara Mendut merokok karena merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap kekejaman kaum lelaki pada masa itu, Rara Mendut terpaksa merokok dan menjual rokok bekas hisapannya untuk menjaga harga dirinya dari kekejaman Tumenggung Wiraguna.

Perjuangan emansipasi perempuan terhadap pencitraan dan pandangan terhadap para perempuan perokok semestinya masih perlu diperjuangkan pada abad ke-20, perempuan sepatutnya juga memiliki hak yang sama dengan hak yang dimiliki oleh para laki-laki dalam perilaku merokok, sebagian besar para laki-laki perokok mengetahui resiko yang ditimbulkan oleh rokok, pun dengan para perempuan perokok, perempuan ini juga mengetahui dampak dan resiko yang terkandung dalam sebuah rokok namun banyak dari perempuan ini menyatakan bahwa mereka memiliki kebutuhan yang sama dengan para laki-laki, merokok menenangkan mereka dan menjadi bagian dari pilihan hidup mereka. Kebanyakan dari perempuan ini masa bodoh dengan pencitraan negatif dan mereka hanya menganggap anggapan-anggapan buruk itu sebagai sesuatu yang tidak penting.

Banyak dari masyarakat Jawa yang langsung memandang buruk perempuan yang merokok. Mereka tidak pernah mempertanyakan semua hal yang terjadi di balik perempuan yang memilih merokok. Mereka hanya berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang tidak pantas dan tidak lebih dari itu. Padahal banyak hal dapat digali dari seorang perempuan yang memilih untuk merokok. Tekanan kultural terus memandang negatif perempuan yang merokok, merokok di depan umum bagi seorang perempuan membutuhkan tingkat keberanian yang lebih. 

Kesimpulan

Merokok adalah hak individual yang dimiliki tak hanya oleh kaum laki-laki namun juga milik para perempuan yang sepatutnya tidak dipandang dari satu sisi. Emansipasi perempuan masih harus diperjuangkan untuk menepis bias gender yang masih terjadi pada perempuan di Jawa hingga abad ke-20. Perempuan juga berhak merokok tanpa harus dinilai dengan buruk. Masyarakat Indonesia, khususnya Jawa seharusnya belajar untuk tumbuh dalam cara berpikir yang tidak hanya melihat hitam putih dan tidak berdasarkan pada satu asumsi dangkal semata.  

Seharusnya masyarakat Jawa mau melihat lebih jauh sebuah persoalan dan tidak langsung menilainya baik atau buruk begitu saja. Dengan memiliki kesadaran akan adanya proses perjalanan sejarah mengenai peran perempuan dan juga sejarah mengenai kretek, kita tidak akan begitu saja mencap segala sesuatu. Terlepas dari segala permasalahan tentang emansipasi, rokok kretek adalah salah satu hasil kebudayaan bangsa Indonesia yang seharusnya dihargai dan dilestarikan, pun selayaknya memandang rokok dan para perokok, khusunya perokok perempuan dari sudut pandang yang berbeda dengan lebih arif dan bijak untuk mewujudkan emansipasi pada perempuan Jawa di abad yang lebih modern ini.

Daftar Rujukan

Reza, Astrid. 2012. Perempuan Juga (berhak) Merokok, dalam Perempuan Berbicara Kretek. Jakarta: Indonesia Berdikari.

Sugihastuti, Siti Hariti Sastriyani. 2009. Glossarium Seks dan Gender. Yogyakarta: Caravasti.

Wibisono, Nuran dan Marlundi Yoandinas. 2014. Kretek, Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia. Jakarta: KNPK.

Kemenag Riau, Emansipasi Perempuan, http://riau1.kemenag.go.id/index.php/a=artikel&id=49, diakses pada 19 April 2020, Jam 19:30

https://www.instagram.com/p/Bwdj632BLdJ/?igshid=x8mz0dkjvclw&epik=dj0yJnU9dEdoeFZQSS1ETmZ1dmw4bTM1MFJERmtKeVYzc0pYcncmcD0wJm49Vng0Q1E3N1pJX3JjOTBjNzVIZHFWUSZ0PUFBQUFBR09LdzJr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun