Oleh Yuswan
Ada banyak pemahaman terhadap PKL. Ada yang bersifat ilmiah dan ada yang sekedar " Katanya atau kira-kira". Sementara yang lebih menggelikan ada pengambil kebijakan dengan semangatnya membuat program dan langkah tegas, namun sedikit tidak pada tempatnya.
Sekedar renungan secara kodrati manusia diciptakan dengan berbagai kemampuan dan salah satunya kemampuan megambil sikap walau berbeda dengan aturan yang berlaku. " Nabi sebagai manusia pertama diciptakan oleh Allah Swt sebagai penghuni surga. Salah satu aturannya tidak boleh makan buah Kuldi. Akan tetapi sebagai manusia Nabi Adam memiliki kemampuan bersikap berbeda dengan aturan tersebut yakni memakan buah kuldi tersebut. Selanjutnya Nabi Adam diberi sanksi dengan dikeluarkan sari surga dan tinggal di bumi, Nabi Adam pun menerima sanksi tersebut".
Nah dengan renungan tersebut adalah sangat bijak manakala semua bisa memahami bahwa bagi yang tergolong sebagai PKL sebagai manusia melanggar aturan adalah memang kodratnya. Pemerintah dan masyarakat yang memiliki aturan bersikap tegas dalam membina dan memberikan sanksi kepada PKL yang melanggar aturan juga benar adanya. Untuk itu kepada PKL yang dengan terpaksa dikeluarkan dari kodratnya sebagai PKL ( karena melanggar aturan) dan direlokasi sebagai sanksinya adalah tepat bila menerima kebijakan Pemerintah tersebut sebagaimana Nabi Adam menerima sanksi dikeluarkan dari surga dan disuruh tinggal di bumi sebagai tempat barunya.
Sementara Allah SWT adalah dzat yang maha sempurna, dengan tegas memberikan sanksi kepada Nabi Adam mengeluarkan dari surga dan merelokasi ke bumi dibarengi dengan pemberian kenikmatan sesuai kebutuhan yang menjadikan Nabi Adam beserta pengikutnya betah tinggal dibumi karena hidup dalam terjaminnya kesejahteraan.
Begitu pula ( tidak bermaksud menyamakan Allah SWT dengan Pemerintah ) adalah sangat bijaksana manakala Pemerintah mampu bersikap tegas dengan tetap memberikan secercah harapan kepada PKL yang direlokasi dengan jalan memberikan kemudahan dan atau kenikmatan sesuai kebutuhan PKL yang direlokasi, sehingga mereka betah tinggal di tempat barunya.
Sekarang tinggal siapa sebenarnya yang tergolong sebagai PKL ?
http://id.wikipedia.org/wiki/Pedagang_kaki_lima, memberikan konsep terhadap PKL atau Pedagang Kaki Lima bahwa Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan (DMJ) yang diperuntukkan untuk pejalan kaki.
Secara prinsip adalah pas, karena istilah " KAKILIMA"  sebenarnya merupakan kependekan dari " KA = KANAN; KI = KIRI; LI= LINTAS; MA= MANUSIA. Jadi Kakilima = Kanan Kiri Lintas Manusia. Pedagang yang berjualan di sekitar (kanan dan kiri) lintas manusia disebut Pedagang Kaki Lima ( PKL).
Kanan Kiri Lintas Manusia ( Kakilima) pada hakekatnya tidak dibatasi oleh wilayah atau tempat. Untuk sementara yang lazim ( sudah diterima) sebagai lintas manusia di Indonesia ya di jalan umum(darat) dan perairan atau air (sungai/selat). Kakilima di pulau jawa pada umumnya di daratan, sementara ada sebagian wilayah di Kalimantan kakilimanya ada di sungai atau perairan.
Secara kodrati manusia dilahirkan untuk bersosialisasi sesama manusia dengan segala variasinya. Salah satunya dalam komunitas pedagang yang tergolong sebagai Pedagang Kaki Lima ( PKL) yakni penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan (DMJ) yang diperuntukkan untuk pejalan kaki.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Pemerintah Republik Indonesia yang sedang gencar menata wilayah sebagai pelaksanaan tugas yang diembannya, maka dengan merelokasi PKL ke suatu wilayah yang bukan jalan umum sebagai kawasan lintas manusia sebenarnya merupakan langkah mengubah status mereka dari Pedagang Kaki Lima ( PKL) menjadi Pedagang menetap di lokasi barunya. Jadi hilang status sosialnya sebagai PKL berganti dengan status sosial baru yang berlaku di tempat barunya.
Terlepas dari Pro dan Kontra yang muncul adalah sangat bijaksana manakala semua mau mengambil hikmah dari keberadaan PKL dan upaya pembinaannya. Selama posisi PKL masih murni berasal dari masyarakat pemilik modal kecil sebenarnya tak akan mengganggu lingkungan. Sementara jika upaya pembinaan terhadap PKL masih murni dengan i'tikad meningkatkan kesejahteraan mereka saya yakin kebijakannya dapat diterima oleh PKL.
Pemerintah dan masyarakat perlu menyadari bahwa keberadaan PKL di suatu tempat harus disyukuri karena diyakini dapat merupakan indikasi cikal bakal lahirnya sentra ekonomi di wilayah tersebut. Sementara para pedagang juga harus beryuklur dan memiliki kesadaran bahwa kebijakan Pemerintah dan tuntutan masyarakat tidak lain sebagai langkah pembinaan menuju terciptanya kawasan yang mampu meningkatkan kesejahteraan umum, termasuk dirinya selaku PKL.
Oleh karena itu, sudah saatnya yang merasa dirinya sebagai PKL mari kita sadari bahwa nama yang disandang sebagai PKL adalah anugrah yang perlu kita syukuri dengan jalan kembali ke fitrahnya sebagai PKL. Sebagai PKL yang tidak tergantung kepada pemilik modal besar itu fitrah PKL, karena status PKL bukan buruh atau pekerja melainkan wiraswasta. Sedangkan bagi mereka yang bekerja hanya menjualkan barang milik pemodal dia bukan berstatus sebagai PKL, melainkan sebagai buruh atau pekerja.
Sementara bagi yang merasa berposisi sebagai pembina mari kita niatkan langkah atau kebijakan kita tidak lain dalam rangka meningkatkan kesejahteraan PKL. Langkah sederhana yang bisa diambil salah satunya dengan menginfentarisir siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai PKL dan siapa yang bukan PKL. Setelah itu baru upaya memisah mereka. Setelah terpisah buatlah program sesuai kareteristik masing-masing kelompok.
Apabila Pemerintah merasa berkewajiban membina mereka yang tergolong sebagai PKLÂ maka bimbinglah mereka untuk tetap melaksanakan aktifitasnya dengan baik. Sementara bagi yang tergolong sebagai buruh atau pekerja, adakan pembinaan kepada pemilik modalnya baru pekerjanya. Pendekatannya disesuaikan dengan kondisi setempat.
Demikian semoga dapat dijadikan renungan di bulan Syawal ini.
Teriring salam hormat dari ku : Yuswan