Gelombang unjuk rasa yang merebak di berbagai kota Indonesia dalam beberapa hari terakhir mengingatkan kita pada satu hal mendasar: rakyat tidak bisa ditekan dengan kekerasan. Semakin keras aparat menekan, semakin kuat pula perlawanan yang lahir dari bawah. Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang tewas setelah tertabrak kendaraan taktis Brimob di Jakarta telah menjadi titik balik yang mengguncang. Ia bukan sekadar korban, melainkan simbol dari apa yang selama ini dirasakan banyak orang: bahwa suara rakyat sering kali dibungkam dengan kekerasan, bukan ditampung dengan dialog.
Padahal, hak untuk menyampaikan pendapat dijamin secara jelas oleh konstitusi. Pasal 28E UUD 1945 menegaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Demonstrasi, dalam kerangka hukum dasar negara, adalah bagian sah dari ekspresi politik warga. Aparat keamanan seharusnya hadir sebagai pengawal hak-hak itu, bukan justru menjadi pihak yang melanggarnya.
Sayangnya, peristiwa di Jakarta memperlihatkan wajah berbeda. Bukannya pendekatan persuasif yang dikedepankan, aparat justru menempuh cara represif. Gas air mata, kekerasan fisik, hingga penggunaan kendaraan taktis yang akhirnya merenggut nyawa, semua itu memperlihatkan betapa jauh praktik di lapangan melenceng dari prinsip demokrasi.
Perlu diingat, aparat sejatinya memiliki aturan internal yang mengikat. Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa jelas menyatakan bahwa setiap tindakan pengendalian unjuk rasa harus dilakukan secara bertahap, mulai dari langkah preventif, negosiasi, hingga tindakan represif sebagai opsi terakhir. Itu pun harus dilakukan secara terukur dan proporsional. Ketika prosedur ini diabaikan, yang lahir bukan rasa aman, melainkan ketidakpercayaan.
Ketidakpercayaan itu kini membesar. Apa yang semula merupakan protes buruh dan mahasiswa yang dipicu oleh usulan tunjangan perumahan untuk anggota parlemen. Tunjangan yang diusulkan, sebesar Rp50 juta per bulan, sepuluh kali lipat dari upah minimum DKI Jakarta, ditambah dengan tunjangan makanan, transportasi, dan gaji pokok yang sudah ada, memicu kemarahan masyarakat umum itu melebar menjadi isu hak asasi manusia dan akuntabilitas aparat. Kasus Affan menjadi simbol yang mengikat beragam kelompok masyarakat. Buruh, mahasiswa, pengemudi ojek online, hingga kelompok masyarakat sipil lainnya menemukan alasan moral untuk bersatu.
Menurut Hendardi, Ketua Setara Institute, tindakan represif aparat selalu berbalik menjadi bumerang bagi negara. "Penggunaan kekuatan berlebihan terhadap demonstran akan selalu menambah solidaritas, memperkuat legitimasi gerakan, dan justru menurunkan legitimasi pemerintah," ujarnya. Pandangan ini sejalan dengan teori gerakan sosial yang menegaskan bahwa represi hanya memperkuat kohesi internal gerakan. Semakin keras dipukul, semakin erat barisan yang terbentuk.
Asfinawati, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), bahkan lebih tegas. Ia menekankan bahwa negara tidak boleh menukar nyawa warganya dengan stabilitas semu. "Setiap nyawa yang hilang dalam demonstrasi akan menjadi simbol perlawanan. Negara seharusnya hadir dengan dialog, bukan peluru atau gas air mata," katanya. Kutipan ini menegaskan betapa pendekatan represif bukan hanya gagal, melainkan berbahaya. Ia menimbulkan luka yang dalam, memperbesar kemarahan, sekaligus menurunkan legitimasi negara di mata rakyat.
Fenomena yang terjadi sekarang sejatinya bukan hal baru. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa represi selalu melahirkan efek boomerang. Pada era reformasi 1998, misalnya, kekerasan aparat terhadap mahasiswa justru memperluas solidaritas dan mempercepat runtuhnya rezim. Pola yang sama kini berulang: dari isu sektoral ketenagakerjaan, perlawanan bergeser menjadi gerakan moral menuntut keadilan dan akuntabilitas.
Dampak dari represi tidak hanya terlihat di jalanan, tetapi juga dalam opini publik. Media sosial dipenuhi dengan tagar solidaritas untuk Affan, sementara media internasional ramai memberitakan tragedi ini. Indonesia kembali disorot bukan karena keberhasilan demokrasi, melainkan karena pelanggaran hak asasi. Dengan demikian, represi tidak hanya gagal meredam, melainkan memperburuk citra negara di mata dunia.
Di tengah situasi yang kian panas, pemerintah harus memilih jalur yang bijak. Kekerasan bukan solusi. Bahkan dalam konteks keamanan sekalipun, pendekatan represif terbukti tidak efektif. Dialog, transparansi, dan akuntabilitas adalah kunci untuk meredakan gejolak. Pemerintah perlu menunjukkan keberanian moral untuk mengakui kesalahan, menindak aparat yang terbukti bersalah, serta membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi secara damai.