Puisi ini lahir dari ruang sunyi yang tak pernah benar-benar kosong. Ia adalah percakapan batin antara yang hilang dan yang masih tertinggal, antara waktu yang berjalan dan jejak yang tertanya. Ditulis dalam nuansa spiritual dan lokal, puisi ini mencoba menangkap denyut kecil kehidupan yang sering luput: kabut di ujung sajadah, senyum warisan, dan cinta yang tak selalu berumah.
Sebagai bagian dari upaya membangun genre sastra kuliner spiritual, karya ini tidak hanya bicara tentang rasa dan ruang, tapi juga tentang makna yang tumbuh dari luka, doa, dan harapan. Semoga pembaca menemukan cermin di dalamnya---atau setidaknya, bayangan yang mengajak merenung.
Tentang yang menantang---
langkah kecil menantang pagi yang pura-pura tenang,
sepele yang menyimpan belati di balik senyum.
Lupa: kabut di ujung sajadah,
dosa... suara bisu dalam batin yang retak.
Ada yang mengingat---
seperti bulan yang tak lelah menengok,
berkat itu jatuh perlahan dalam detak,
tertanya dalam sunyi:
tertentangkah jejak yang tak sempat berpulang?
Luang,
bukan sekadar waktu yang terurai.
Uang,
perahu yang mengapung tanpa arah,
tenggelam oleh keinginan yang tak tahu pantai.
Tentang yang hilang,
bagai nama di gerimis sore,
hirup yang meminjam hidup,
duka tertanam di balik senyum warisan,
perih yang bertumbuh tanpa suara,
seperti luka yang belajar diam.
Sendiri,
adalah ruang berbatu dalam hati,
derita yang menyulam harapan dengan benang yang nyaris putus.
Cinta: tak selalu berumah,
dan bersama: belum tentu berakar.
Tentang nasib,
tak serupa utara---
karib yang pulang sebagai kenangan,
dan yang tertinggal hanya bayang-bayang
di dinding doa yang tak selesai.
Semua tentang itu,
berderet, bergugus, bertanya:
tertantangkah oleh waktu yang terus berjalan?
Sudah---
tapi bayangnya masih menempel di dinding doa.
Lagi---
tapi tak pernah utuh.
Mati---
namun rindu tak ikut terkubur.