Mohon tunggu...
Yusufachmad Bilintention
Yusufachmad Bilintention Mohon Tunggu... saya adalah kepala SMK Saintren Al - Hasan Surabaya-Ketua MKKS SMK SWASTA SURABAYA juga redaktur suaraanaknegerinews.com

saya suka menulis : puisi, esay dan lainnya. saya suka menonton film

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tapak Senyap di Hamparan Sembahyang

28 September 2025   11:00 Diperbarui: 28 September 2025   10:04 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input Keterangan & Sumber Gambar (Contoh: Foto Jejak Senyap di Hamparan Sembahyang sumber: AI_Copilot

Puisi ini lahir dari ruang sunyi yang tak pernah benar-benar kosong. Ia adalah percakapan batin antara yang hilang dan yang masih tertinggal, antara waktu yang berjalan dan jejak yang tertanya. Ditulis dalam nuansa spiritual dan lokal, puisi ini mencoba menangkap denyut kecil kehidupan yang sering luput: kabut di ujung sajadah, senyum warisan, dan cinta yang tak selalu berumah.

Sebagai bagian dari upaya membangun genre sastra kuliner spiritual, karya ini tidak hanya bicara tentang rasa dan ruang, tapi juga tentang makna yang tumbuh dari luka, doa, dan harapan. Semoga pembaca menemukan cermin di dalamnya---atau setidaknya, bayangan yang mengajak merenung.

Tentang yang menantang---
langkah kecil menantang pagi yang pura-pura tenang,
sepele yang menyimpan belati di balik senyum.
Lupa: kabut di ujung sajadah,
dosa... suara bisu dalam batin yang retak.

Ada yang mengingat---
seperti bulan yang tak lelah menengok,
berkat itu jatuh perlahan dalam detak,
tertanya dalam sunyi:
tertentangkah jejak yang tak sempat berpulang?

Luang,
bukan sekadar waktu yang terurai.
Uang,
perahu yang mengapung tanpa arah,
tenggelam oleh keinginan yang tak tahu pantai.

Tentang yang hilang,
bagai nama di gerimis sore,
hirup yang meminjam hidup,
duka tertanam di balik senyum warisan,
perih yang bertumbuh tanpa suara,
seperti luka yang belajar diam.

Sendiri,
adalah ruang berbatu dalam hati,
derita yang menyulam harapan dengan benang yang nyaris putus.
Cinta: tak selalu berumah,
dan bersama: belum tentu berakar.

Tentang nasib,
tak serupa utara---
karib yang pulang sebagai kenangan,
dan yang tertinggal hanya bayang-bayang
di dinding doa yang tak selesai.

Semua tentang itu,
berderet, bergugus, bertanya:
tertantangkah oleh waktu yang terus berjalan?

Sudah---
tapi bayangnya masih menempel di dinding doa.
Lagi---
tapi tak pernah utuh.
Mati---
namun rindu tak ikut terkubur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun