Mohon tunggu...
Yustus Maturbongs
Yustus Maturbongs Mohon Tunggu...

AC Milan fans since 1990 , jazzer, black coffee maniac \r\nFollow me @Joong_Oijoon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Polemik Pemberian Gelar Adat dan Marga

19 Januari 2011   07:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:24 1917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12954209441962273700

[caption id="attachment_84182" align="alignleft" width="320" caption="presiden SBY menerima gelar kehormatan di Danau Toba / AntaraFoto"][/caption] Rupanya republik ini bukan hanya kacau dengan semrawutnya persoalan hukum, ekonomi, penanggulangan kemiskinan dan bencana alam serta meningkatnya angka kriminalitas tetapi masalah sosial masyarakat yang mencakup persoalan adat. Sebagai contoh, polemik pemberian gelar adat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat membuka Museum Batak di Toba Samosir (18/1/2011). Protes dan demonstrasi dari masyarakat Batak menjalar kemana-mana. Tidak hanya di Medan tetapi di ibukota Jakarta.

Sebagaimana diberitakan dalam Liputan 6 SCTV, Presiden SBY mendapat gelar “Patuan Sorimulia Raja”. Patuan artinya, gelar kehormatan tertinggi Batak Mandailing, dalam bahasa Indonesia artinya Paduka/Tuan. Sori artinya memberikan kemakmuran, keteladanan dan kenyamanan. Mulia artinya dihormati atau dimuliakan. Raja artinya pimpinan dalam acara adat.

Polemik berlanjut, dan entah siapa yang menghembuskan angin informasi bahwa Presiden SBY mendapat tambahan marga Siregar dan Ibu Ani mendapatkan tambahan marga Pohan. Lengkapnya, Susilo Bambang Yudhoyono Siregar dan Ani Yudhoyono Pohan. Meskipun kabar pemberitaan penambahan marga diklarifikasi juru bicara presiden Julian Pasha , bahwa presiden tidak mendapat penambahan marga, toh ditanggapi berbeda oleh orang “dekat” SBY, Ruhut Sitompul.

Menurut Ruhut sebagaimana dilansir dari detiknews.com, "Susilo Bambang Yudhoyono Siregar sebagai simbol penghargaan bahwa Bapak SBY adalah seorang pemimpin besar dan dia sangat dicintai oleh rakyatnya karena dia selalu melindungi rakyatnya dan bekerja untuk rakyat. Jadi saya rasa suku batak sudah tepat memberikan penghargaan kepada Pak SBY,"

Lanjut Ruhut Sitompul, “"Siregar dan Pohan sama dengan Sitompul adalah marga yang 50:50 antara penganut muslim dan kristiani dan ini sangat nasionalis, banyak tokoh batak mendapat gelar ini" terangnya.

Esensi dan mekanisme

Sejarah pemberian gelar adat kepada seseorang di luar lingkungan adat daerah setempat di republik ini bukan berita baru. Aburizal Bakrie, semasa menjabat sebagai Menkokesra pada tanggal 18 Maret 2009 pernah mendapat gelar adat “Mangaraja Kumala Pinayungan Lubis” oleh Pemangku Adat Mandailing Natal Sumatera Utara.

Sementara itu, Wakil Presiden Boediono dan istrinya Ny.Herawati pernah dianugerahi gelar adat saat melakukan kunjungan ke Pulau Banda, Maluku Tengah pada pertengahan September 2009. Wapres Boediono diberi gelar “Kepala Orang Lima Utama” yang merupakan bagian dari rumpun utama Maluku yaitu “Patalima.” Sedangkan Ny. Herawati mendapat gelar adat "Maruka" Utama yang menunjukkan emansipasi dan perjuangan perempuan Banda saat melawan penjajah akibat suami mereka dibantai.

Dari kasus penolakan pemberian gelar adat kepada SBY, mengingatkan lagi kepada kita bahwa ada pranata sosial masyarakat yang kadang dilupakan pemerintah yaitu adat-istiadat bersama dengan hukum adat yang berlaku dalam tatanan kehidupan setempat. Pemberian gelar adat dalam hukum adat setempat adalah sakral dan agung, dan sekiranya hal ini berlaku universalbagi suku manapun di dunia ini termasuk Indonesia.

Pemberian gelar adat seharusnya bukan atas dasar seremoni belaka manakala ada tamu dari pusat yang berkunjung ke daerah-daerah. Pemberian gelar adat seharusnya dilepaskan dari politisasi pencitraan diri dan kepentingan-kepentingan sesaat. Pemberian gelar adat selayaknya pemberian gelar pahlawan harus melalui mekanisme panjang dan tentunya tidak gampang. Harus melibatkan berbagai pihak seperti akademisi, tokoh adat dan pemerintah daerah setempat sehingga esensi, kegunaan dan efeknya dapat dipertanggungjawabkan.

Misalnya, kata “Raja” untuk gelar yang diterima oleh SBY berarti “pimpinan dalam acara adat” harus dilihat esensi dari pemberian gelar itu. Apakah setiap pengambilan keputusan dalam musyawarah adat setempat, SBY sebagai pimpinan acara adat selalu dilibatkan? Faktor lainnya adalah ikatan emosional sang penerima gelar adat dengan masyarakat adat setempat. Apa yang harus diberikan sang penerima gelar adat bagi masyarakat? Apa pertanggungjawaban moral kepada pemberi gelar adat dan apa konsekuensinya jika janji tidak ditepati?

Pemberian gelar adat seharusnya memakai syarat logis atau masuk akal. Apa yang telah dilakukan sang penerima gelar adat bagi masyarakat adat setempat sehingga ia layak mendapatkan gelar itu? Dengan kajian-kajian akademik, tentunya dapat menjawab hal itu. Tidak sedikit kita mendapatkan masih banyak kelompok-kelompok masyarakat adat di republik ini hidup di bawah garis kemiskinan, krisis pendidikan dan kesehatan serta kesenjangan sosial dengan masyarakat perkotaan.

Mekanisme pemberian gelar adat kepada seseorang di luar kelompok masyarakat adat setempat tentunya harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi adat setempat dan sekali lagi bukan dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan politik. Apakah pemuka-pemuka adat sudah mewakili suara rakyatnya ataukah jangan-jangan para pemuka adat justru “terkontaminasi” dengan rayuan uang dan kekuasaan. Mekanisme pemberian gelar adat juga tidak instant ataukah sekedar balas jasa.

Berartinya sebuah marga

Terlepas dari benar atau tidak presiden SBY dan ibu Ani mendapat tambahan gelar Siregar dan Pohan, tetapi memberikan marga kepada seseorang tidaklah segampang itu. Pemberian marga adalah sakral dan untuk menjelaskan identitas seseorang mengenai asal-usul dan latar belakang kedaerahannya.

Dalam kelompok masyarakat yang patrilineal, pemberian marga adalah turun-temurun dari ayah kepada anaknya dan seterusnya. Misalnya, saya memakai marga Maturbongs (Maluku Tenggara) tentunya akan dipakai oleh anak-anak saya dan seterusnya. Pengecualian berlaku untuk anak perempuan yang menikah dengan marga lain, maka marga asal menjadi marga kedua setelah marga suaminya.

Pemberian marga ataukah pada sekelompok masyarakat adat lain menyebut “Faam” juga berlaku di luar proses adat dan alamiah. Misalnya, dalam beberapa kasus di berbagai daerah, etnis Tionghoa yang lahir di daerah adat setempat “membeli” marga/faam. Istilah membeli bukan dalam arti harafiah memakai uang, tetapi kelekatan emosional dengan daerah kelahirannya. Misalnya etnis Tionghoa yang lahir dan besar di Minahasa memakai marga Tumewu, di Maluku memakai marga Tanasale, ataukah di Medan memakai marga Siregar.

Jadi, penambahan marga/faam bukan karena jasa, jabatan ataukah kedudukan seseorang. Marga mengikat seseorang dan menjelaskan identitas secara totalitas. Meminjam istilah Jaya Suprana, kelirumologi yang terjadi jika Yudhoyono Siregar digabungkan menjadi satu, mengingat marga Yudhoyono tidak menikah dengan marga Siregar. Hal ini akan menimbulkan absurbditas dalam masyarakat adat setempat dan tentunya berdampak luas.

Perbedaan, keanegaragaman dan pluralitas di Nusantara ini seharusnya dihargai dengan tidak merusak adat-istiadat yang telah berlaku ribuan tahun, jauh sebelum republik ini ada. Jadi, seharusnya dalam keberagaman itu, pemerintah seharusnya peka terhadap kondisi bangsa yang makin kritis. Kalau alam sudah memberikan banyak pertanda, pemimpin agama bersuara dan masyarakat mengeluh, berarti republik ini sudah saatnya diselamatkan!

Salam Damai untuk Indonesia Maju!

(YM, mdo, 19/1/2010)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun