Mohon tunggu...
Yusrin  TOSEPU
Yusrin TOSEPU Mohon Tunggu... Dosen -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Periset di LSP3I Region V Sulawesi Pusat Makassar. Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar Penggiat Literasi Media ICT (Information and Communication Technology)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Waspadai [Janji] Jelang Pemilu 2019

30 Juli 2018   01:20 Diperbarui: 30 Juli 2018   02:02 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pileg dan pilpres, dua kata sederhana yang artinya sudah diketahui bersama namun selalu terdengar heboh di telinga, pikiran dan hati kita. Kita sudah tahu arti kata pileg dan pilpres tanpa perlu membuka kamus Bahasa Indonesia.

Walau demikian, setiap orang seakan tidak puas dan tidak pernah berhenti mendefinisikan kedua kata tersebut sesuai konteks, situasi, kondisi dan karakter masyarakat masing-masing daerah. 

Setiap kali 2 kata tersebut dikumandangkan, gaungnya bergema bukan saja di telinga tetapi juga dalam hati dan pikiran masing-masing pendengar.

Kita seakan ditarik oleh ada semacam kekuatan magis tertentu untuk sepanjang hari membicarakan, berdiskusi, bercerita, sharing pengalaman dan lain sebagainya tanpa ada habisnya tentang kedua kata tersebut.

Pemilu pileg dan pilpres yang akan digelar pada tanggal 17 April 2019 mendatang dengan memilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD serta presiden dan wakil presiden, merupakan pemilu serentak yang diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia.

Pemilu adalah momen akbar perpolitikan di Indonesia namun momen ini kerap kali tidak digunakan secara baik untuk menunjukkan citra demokrasi yang hakiki.


Momen akbar tersebut kerap kali dilecehkan oleh poltisi calon atau kelompok masyarakat tertentu dengan sikap yang tidak demokratis. Janji-janji palsu diumbar oleh para kandidat untuk memikat hati rakyat.

Mayarakat yang kerap merasa tertipu oleh janji-janji manis akhirnya sampai kepada titik jenuh. Janji pada saat kampanye oleh para kandidat diindentikkan dengan penipuan.

Jika selama ini yang sering terjadi adalah para kandidat berusaha mencari trik-trik khusus untuk mengelabui masyarakat maka sekarang yang terjadi adalah masyarakat pun mulai mengelabui para kandidat.

Janji yang disampaikan oleh para poltisi calon tidak disimak dan ditelaah secara mendalam, logis , efektif dan efisien, tetapi sekadar didengarkan sambil lalu. Janji-janji politik yang seharusnya merupakan manifestasi visi-misi seorang calon dijadikan tidak lebih dari sekadar janji hampa.

Masyarakat mulai berakting meniru para kandidat. Di saat kampanye, pada satu sisi para kandidat berlaku bak professor yang mengajar dengan apik, di sisi lain masyarakat pendengar berakting bak murid yang patuh.

Setelah kampanye selesai dan janji-janji telah tuntas dirapal semuanya buyar dihembus angin saling tidak percaya dan keraguan akan kebenaran janji-janji yang telah disampaikan.

Pemikiran-pemikiran cerdas, kiat-kiat sukses dan strategi-strategi apik untuk membangun masyarakat, daerah atau negara ke arah yang lebih baik kembali dipasung oleh politik keagamaan, kesukuan, kekeluargaan, uang dan lain sebagainya.

Ideal pemilihan untuk mencari politisi calon yang terbaik dari sudut pandang visi-misi dan kinerja terbaikan. Demokrasi kita tanpa sadar digiring kepada jurang kepalsuan oleh kita sendiri.

Saya tak bermaksud mengeneralisasi seluruh politisi calon atau kelompok masyarakat melakukan hal tersebut. Kita harus mengapresiasi bahwa ada juga orang tertentu yang sungguh-sungguh berpolitik dengan tetap setia kepada kaidah-kaidah demokrasi dan berpolitik dengan menampilkan norma dan nilai demokrasi yang hakiki.

Hal tersebut kita dapat ketahui melalui telaah sepak terjang orang-orang tersebut dalam dunia politik, rekam jejak, kinerja dan janji-janji politik yang disampaikan. Hal yang ingin disoroti di sini adalah kepincangan yang terjadi dalam kontestasi pemilu kita.

Janji politik bukan saja pelengkap di saat musim pemilu, tetapi merupakan bagian hakiki dari pemilu. Janji-janji dalam kampanye adalah sesuatu yang niscaya.

Dalam janji-janji tersebut, visi dan misi dari politisi calon terungkap dan terlihat oleh rakyat. Bahkan ketika ada calon yang mengatakan "tidak membuat janji" sekalipun, sesungguhnya pernyataan tersebut adalah janji.

Ungkapan "tidak membuat janji" disebut sebagai sebuah janji, karena tentu ketika kalimat tersebut diucapkan, secara implisit ada makna tersembunyi dibalik kata-kata tersebut.

Ada intensi yang ingin dicapai oleh kandidat tersebut. Intensi yang kita bisa tangkap adalah kandidat tersebut ingin mendapatkan kepercayaan dari masyarakat bahwa dia adalah calon yang tidak suka mengumbar janji dan lebih suka membuktikan kualitas diri ketika sudah menjabat posisi yang diincar. Ini tentu merupakan sebuah janji.

Janji politik sangat penting karena dari sanalah kita dapat membaca tekad, visi, misi dan intensi seseorang maju menjadi calon untuk menduduki jabatan tertentu.

Politis calon yang tidak mempunyai janji politik adalah kandidat yang tidak mempunyai visi dan misi. Lantas bagaimana caranya kita membedakan mana janji politik yang palsu dan mana janji politik yang benar-benar dapat dipenuhi?

Penting untuk mengetahui cara menilai janji politik yang palsu dan janji politik asli yang dapat diwujudkan. Kita harus bisa menilai sebuah janji sehingga tidak terbuai dan tertipu dengan janji-janji palsu lagi.

Tidak menutup kemungkinan, para kandidat juga dapat menggunakan alat ini untuk membuat janji politik yang berkualitas.

Setidaknya konsep yang dapat digunakan sebagai alat yang bisa dipakai membantu kita untuk melihat dan menilai adanya fokus yang jelas terhadap apa yang akan dicapai.

Pertama, specific artinya janji yang diungkapkan dapat dijabarkan secara terperinci. Janji politik harus dapat dijabarkan oleh calon secara jelas dan tanpa ambigu.

Jelas alasan atau keuntungan dari visi dan misinya bagi masyakat seluruhnya. Ada tidaknya fasilitas atau prasarana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Semua harus terjabarkan secara spesifik.

Kedua, measurable artinya terukur. Janji politik juga harus bisa diukur dengan pengukuran yang konkrit seperti berapa banyak, seberapa kuat, seberapa sering atau kapan sebuah janji bisa diketahui telah dicapai. Hal ini mesti dapat diperhitungkan dari awal penetapan targetnya.

Ketiga, attainable artinya dapat diraih. Jangan sampai janji politik yang diungkapkan hanya sebagai pemanis bibir. Sasaran janjinya terlalu jauh diluar standar, tidak sesuai dengan kondisi dan mata pencaharian masyarakat, tidak sesuai dengan karakter serta kekuatan anggaran yang tersedia dan lain sebagainya. Janji yang ditetapkan secara realistis membantu kita untuk mencapainya secara sungguh-sungguh. 

Keempat, realistic artinya adanya kesesuai antara janji dengan prioritas yang ingin dicapai masyarakat. Janji politik haruslah realistis. Jangan sampai janji yang diungkapan bukan merupakan kebutuhan utama masyarakat. 

Karena itu, pelibatan warga dalam memikirkan dan merancang apa yang hendak dilaksanakan selama masa jabatan seorang calon harus menjadi salah satu aspek penilaian. Sehingga, kelak warga tidak hanya sekadar dijadikan penonton.

Kelima, timebound artinya berjangka waktu. Janji yang diungkapkan kandidat harus bisa terukur dengan kerangka waktu tertentu dalam memulai serta tengat waktu yang diharapkan untuk bisa menyelesaikan janji yang telah tertuang dalam visi dan misi. Jangan sampai masa jabatan hanya lima tahun tetapi janji politiknya setelah diukur justru melebihi kurun waktu menjabat.

Dari hasil penilaian tersebut kita dapat memutuskan seorang calon layak atau tidak untuk menduduki jabatan tertentu. Jika janji yang diungkapkan tidak jelas dan spesifik, tidak dapat diukur, tidak dapat diraih karena sasaran janjinya terlalu jauh diluar standar, tidak realistis, dan tidak dapat diukur dengan tengat waktu tertentu maka kita harus kuatkan hati dan pikiran untuk menolak memilih politisi calon tersebut walaupun seagama dengan kita, sesuku, keluarga, sedaerah, memiliki banyak uang dan lain sebagainya.

Ketidakpercayaan masyarakat kepada para politisi calon akibat janji-janji manis yang sering diucapkan namun tidak mampu dipenuhi, dan kekecewaan para calon yang berusaha berpolitik secara jujur, adil dan demokratis namun tetap  tidak dipilih oleh masyarakat menyebabkan orang kehilangan harapan besar kepada demokrasi politik yang benar dalam pemilu.

Akhirnya orang terperangkap dalam demokrasi politik yang dipenuhi oleh politik partisan; kedaerahan, kekeluargaan, kesukuan, golongan, uang , transaksi jabatan dan lain sebagainya.

Hal tersebut dapat diminimalisir jika di satu sisi para calon berhenti menyuguhkan janji-janji palsu kepada masyarakat, dan di sisi lain masyarakat mampu membedakan mana janji palsu dan mana janji asli yang dapat diwujudkan untuk mencegah terpilihnya pemimpin yang tidak berkualitas. Jalannya pemilu yang baik dan benar adalah tanggungjawab kita bersama.

Mari kita jadikan pileg dan pilpres serentak 17 April 2019 sebagai momen akbar perpolitikan di Indonesia yang menunjukkan citra demokrasi yang hakiki. Oleh karena itu, kita harus satukan tekad untuk mengawal bersama pemilu yang akan terjadi dengan cara saling berbagi ide-ide kreatif, kiat-kiat cerdas, dan mimpi-mimpi besar untuk Indonesia yang semakin berdaulat secara politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun