Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Money

Kebijakan Membahagiakan 1% Orang

26 Maret 2022   09:13 Diperbarui: 26 Maret 2022   09:23 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Jadi, mending mana murah tapi barangnya tidak ada, atau sedikit mahal tapi stok banyak," tanya Lutfi ke beberapa ibu-ibu yang tengah berbelanja.

Pertanyaan yang dilontarkan Menteri Perdagangan M. Lutfi tersebut cukup bertentangan dengan apa yang ada di lapangan dan ucapannya beberapa waktu sebelumnya.

Jika harga murah yang disebutkan Menteri Perdagangan dalam pertanyaannya tersebut adalah antara Rp11.500,00 hingga Rp14.000,00 sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) pada pasal 3, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06 Tahun 2022. Maka sebenarnya masyarakat tidak merasakan harga murah tersebut. Hal ini disebabkan kelangkaan minyak goreng yang terjadi dimasyarakat, meskipun ada harga jualnya telah meningkat hingga dua kali lipat.

Selain itu, pertanyaan yang dilontarkan kepada ibu-ibu ini pun bertentangan dengan pernyataannya pada 09 Maret 2022 lalu. "Sebanyak 415.787 ton atau sekitar 72,4 persen dari DMO yang terkumpul sudah didistribusikan ke pasar dalam bentuk curah maupun kemasan hingga 8 Maret 2022. Distribusi DMO tersebut sudah melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi minyak goreng satu bulan yang mencapai 327.321 ton. Pasokan minyak kita melimpah," ungkap Mendag Lutfi dalam konferensi pers terkait minyak goreng yang dilakukan secara virtual. Sehingga secara persediaan/stok dan produksi minyak goreng tidak pernah kurang, bahkan melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi.

Sejak awal terjadinya kelangkaan minyak goreng pada masyarakat belum pasti siapa dan apa penyebabnya. Namun selama itu juga telah bayak pendapat dari berbagai pihak seperti Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Kementerian Perdagangan, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APINDO), dan Satgas Pangan Polri.

Berapa pendapat mengenai penyebab kelangkaan minyak goreng, di antaranya: (1) rantai distribusi minyak goreng yang belum normal, (2) panic buying, (3) penjualan bersyarat, (4) pasokan dari distributor yang tertahan akibat ulah spekulan, (5) kebocoran industri yang kemudian menjual di atas HET, (6) penyelundupan oleh sejumlah oknum, (7) adanya penimbunan, (8) penurunan panen sawit pada semester 2 sehingga suplai CPO terbatas, (9) pengurangan produksi oleh pelaku usaha, (10) harga sawit global yang melonjak tinggi.

Hingga adanya dugaan mafia sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng. Hal tersebut disampaikan Menteri Perdagangan M. Lutfi di depan DPR. Dalam pengakuannya ia menyebutkan ada mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar.

Dari berbagai penyebab yang telah disebut di atas kuat kemungkinan kelangkaan minyak goreng merupakan perbuatan mafia atau adanya praktik kartel. Seperti yang disebutkan Menteri Perdagangan M. Lutfi.

Secara  sederhana kartel merupakan perjanjian atau kerja sama satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya. Secara klasik kartel dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu harga, produksi, dan wilayah pemasaran (Nasution & Wiranti, 2008: 4).

Meskipun begitu terlalu dini mengatakan kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh praktik kartel sebab belum ada bukti sahih, namun ada beberapa indikasi yang mengarahkan adanya praktik tersebut.

Pertama, seperti yang dijelaskan Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) bahwa struktur pasar minyak goreng termasuk dalam kategori struktur pasar oligopolistik di mana ada persaingan yang tidak sempurna, sehingga sampai saat ini masih ditengarai adanya dugaan kartel minyak goreng yang mengakibatkan harga komoditas tersebut terus naik. Terlebih sebelum dibentuknya Holding BUMN Pangan atau ID FOOD, pendistribusian minyak goreng dilakukan sendiri oleh produsen.

Kedua, praktik kartel pada minyak goreng bukanlah sesuatu yang baru. Pada tahun 2010 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum 20 produsen minyak goreng untuk membayar denda senilai total Rp299 miliar karena terbukti membentuk kartel untuk menentukan harga minyak goreng. Hukuman tersebut diberikan setelah KPPU menemukan adanya bukti komunikasi antar perusahaan tersebut berupa pertemuan langsung maupun tidak langsung pada 29 Februari 2008 dan 9 Februari 2009 yang membahas harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi.

Ketiga, struktur industri minyak goreng curah dan kemasan terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha saja. Sehingga memudahkan adanya praktik harga paralel dan praktik price signalling.

Keempat, berdasarkan penelitian KPPU terdapat empat produsen minyak goreng yang menguasai 46,5% pasar minyak goreng. Dikutip dari Tempo.co, empat produsen minyak goreng tersebut adalah, Wilmar Internasional Ltd, Indofood Agri Resources Ltd, Grup Musim Mas dan Royal Golden Eagel Internasional (RGEI).

Sehingga dengan indikasi-indikasi yang telah disebutkan di atas kebijakan minyak goreng satu harga akan tumpul. Meskipun sebelumnya telah ada tiga kebijakan yang mendukung minyak goreng satu harga sebagai berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dengan harga terjangkau. 

Pertama, pemerintah mewajibkan menyalurkan CPO, RBD Palm Olein, dan UCO sebesar 20% dari volume ekspor untuk kebutuhan dalam negeri (domestik market obligation/DMO).

Kedua, harga penjualan dalam negeri (domestic price obligation/DPO) untuk CPO sebesar Rp9.300/kg serta untuk olein sebesar Rp10.300/kg. Dan ketiga, Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun tetap saja seketika minyak hilang ketika HET diberlakukan pada 01 Februari 2022 lalu. Begitu HET dicabut atau harga minyak goreng kemasan (sederhana dan premium) dilepas ke pasar per 16 Maret 2022, minyak goreng kemasan tiba-tiba membanjir.

Dapat dikatakan dana sebesar Rp7,6 triliun yang akan digunakan untuk membiayai penyediaan minyak goreng kemasan bagi masyarakat sebesar 250 juta liter per bulan atau 1,5 miliar liter selama enam bulan yang telah dikeluarkan hanya untuk membahagiakan 1% orang (pengusaha minyak goreng).

Oleh sebab itu menciptakan politik dan kebijakan yang lebih demokratis sehingga praktik ekonomi yang hanya menciptakan kapling-kapling untuk segelintir orang tidak dilakukan turun-temurun dari generasi ke generasi. Selain itu penegakan aturan main dan pengawasan perlu diperbaiki agar praktik kartel pangan tidak berubah jadi amat struktural.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun