[caption id="attachment_321607" align="aligncenter" width="565" caption="Rudi Habibie dan Ainun semasa muda (foto: habibie-strangler.blogspot.com)"][/caption]
DI acara Mata Najwa, lelaki itu tampil tenang dan penuh percaya diri. Tak tampak sedikit pun rasa gentar atau terpojok atas semua pertanyaan yang diajukan presenter. Ia menjawab semua keraguan, menjelaskan semua yang samar, serta tegar menatap tayangan tentang masa-masa ketika dirinya menjadi presiden, masa-masa ketika dirinya banyak dihujat oleh politisi lain. Lelaki tenang itu adalah Baharuddin Jusuf Habibie.
Untuk kesekian kalinya ia tampil di televisi. Seorang teman mengirim kabar bahwa ketika Rudi Habibie muncul di televisi, suasana di Desa Lanra'e, di pelosok Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, selalu senyap diselingi bunyi jangkrik. Banyak warga yang memilih untuk tetap di rumah sembari menyaksikan Rudi, anak desa itu yang dahulu menggembalakan kerbau itu kini bertransformasi sebagai guru bangsa. Rudi yang lahir di Pare-Pare itu adalah idola bagi semua warga desa.
Di acara Mata Najwa itu, Rudi sempat terdiam ketika diperlihatkan tayangan tentang suasana ketika ia membacakan laporan pertanggungjawaban sebagai presiden. Ia berhadapan dengan politisi yang dipenuhi gelora euforia tentang reformasi. Pada masa itu, perubahan ibarat mantra yang diucapkan terus-menerus. Mereka yang lama adalah mereka yang tak ingin berubah, dan untuk itu harus disingkirkan. Ketika Rudi membacakan laporannya, ada banyak suara interupsi yang menyela pidatonya. Tapi ia tidak gentar.
Di antara semua presiden Indonesia, Rudi adalah presiden yang merasakan langsung bagaimana protes publik bertubi-tubi hingga banyak upaya yang hendak mendelegitimasi dirinya. Selama 518 hari memimpin, ia duduk di atas kursi panas yang kemudian menjadi sasaran kritik dari berbagai kekuatan politik. Saya menunggu-nunggu, apakah ia marah dengan apa yang tersaji di layar.
Tim Metro TV menampilkan dokumentasi tentang suasana voting di gedung dewan mengenai apakah laporan pertanggungjawabannya sebagai presiden hendak diterima ataukah tidak. Ketika angka menunjukkan bahwa laporan itu akan ditolak, ada suara-suara Allahu Akbar, kemudian sorak gembira memenuhi ruangan.
Ternyata Rudi justru tak memendam amarah. Ekspresinya datar saja sebab ia menilai peristiwa itu sebagai bagian dari sejarah yang telah berlalu. Sejarah memang selalu terkait dengan siapa rezim yang berkuasa. Pada satu masa Rudi pernah dihinakan oleh masyarakat lain. Namun di masa kini, mata banyak orang mulai terbuka bahwa Rudi telah mewariskan banyak hal atas demokratisasi dan kebebasan berbicara. Ia telah menyelesaikan periodenya hingga memiliki banyak pencapaian. Dan ia harus membayar periode itu dengan menerima makian banyak kelompok.
[caption id="attachment_321608" align="aligncenter" width="620" caption="Rudi Habibie dalam satu pose (foto: tempo.co)"]

Terlepas dari berbagai kontroversi atasnya, Rudi adalah sosok penting dari transisi Orde Baru ke Orde Reformasi. Ia dianggap sebagai bagian dari kekuatan lama sebab merupakan bagian dari mantan Presiden Soeharto, namun ia juga dianggap menjadi representasi dari kekuatan reformasi yang saat itu datang bagai air bah dan menjebol tatanan politik.
Saya berharap agar ada sejarawan yang tekun menelaah fakta dan data tentang apa yang terjadi pada peralihan kekuasaan. Periode reformasi adalah periode misterius dalam sejarah Indonesia. Entah kenapa, transisi kekuasaan kerapkali penuh misteri dan tanda tanya. Tahun 1998 menyisakan misteri, sebagaimana transisi kekuasaan pada tahun 1965. Sejauh ini, ada beberapa narasi yang muncul, dikemukakan oleh sejumlah tokoh. Selain Rudi Habibie, ada pula Wiranto dan Prabowo.
Masing-masing memiliki narasi berbeda yang seharusnya diurai demi menemukan hikmah dan pembelajaran bagi generasi mendatang. Mengurai luka sejarah di masa silam tidak akan membuat kita mengalami konflik di masa kini. Sejarah itu akan menjadi alarm atau peringatan agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi di masa mendatang. Dengan cara itu, kita mengambil keping pembelajaran berharga untuk masa kini dan masa esok, sebagaimana ajaran Nelson Mandela, "forgive but not forget." Kita memaafkan, tapi kita tidak akan melupakan.