"Aku ingin jadi insinyur, Pak! Bukan guru!" protesku dalam sebuah perdebatan yang terasa seperti perang dunia di ruang tamu kami. Aku merasa diatur, masa depanku direnggut.
Ayah menatapku dengan tatapan yang baru kusadari kini adalah tatapan penuh cinta dan kekhawatiran. "Bapak tidak menyuruh kamu jadi guru, Rai," ujarnya dengan suara berat. "Bapak hanya inginkan kamu kuliah di keguruan." Sebuah logika yang tak mampu kucerna oleh otak remajaku yang mendidih.
Di tengah badai itu, Ibu datang laksana air sejuk. Tangannya yang lembut mengusap punggungku. "Nak," bisiknya lirih, "tak ada orang tua yang ingin anaknya sengsara. Jika kau turuti keinginan Ayahmu, kau dapat dua pahala sekaligus. Pahala berbakti, dan pahala membahagiakan hatinya."
Kalimat itu meruntuhkan seluruh benteng pemberontakanku. Aku menatap wajah mereka yang mulai digurati usia. Malam itu, aku menggulung mimpi Jepang-ku, membungkam kord-kord Nirvana di dalam batinku, dan memilih jalan yang mereka restui.
Puncak Sunyi dan Pertanyaan Abadi
Dan jalan itu, ternyata, adalah jalan emas. Aku menjadi PNS, Â dan akhirnya mencapai puncak karier sebagai konsultan pendidikan terkemuka. Doa ayah dan ibu telah dijawab dengan begitu indah oleh langit. Namun, saat aku berdiri di puncak itu, aku sendirian. Ayah telah pergi, disusul oleh Ibu. Harapan mereka terkabul, tapi mereka tak ada di sana untuk menyaksikannya. Piala kesuksesan di tanganku terasa dingin dan hampa. Semangatku remuk redam.
Dunia kerja adalah arena yang berbeda. Aku yang masih berduka dilempar ke dalam rimba persaingan yang buas. Terseok-seok, ditopang oleh istriku yang setia, aku mencoba bangkit. Tapi anehnya, di tengah usahaku untuk sekadar bertahan hidup, aku merasakan dinding-dinding tak kasat mata dibangun di sekelilingku. Tatapan sinis, perlakuan yang berbeda, dan nama baik yang mudah sekali tercoreng oleh penilaian sepihak.
"Mengapa mereka membenciku?" jeritku dalam sunyi setiap malam. "Dosa apa yang telah kuperbuat hingga aku selalu tampak salah di mata mereka?"
Di titik terendah itulah, kepingan-kepingan ajaran masa lalu kembali menyatu. Aku teringat nasihat Gus Dur, bahwa bahkan Rasulullah yang mulia pun memiliki pembenci. Lalu aku membuka kembali kitab suciku, dan menemukan ketenangan dalam Surat Al-Baqarah, tentang ujian berupa ketakutan, kelaparan, dan kehilangan, sebagai saringan bagi orang-orang yang sabar.
Kini, aku masih di sini. Masih berjuang. Bukan lagi untuk mengejar target perusahaan, tapi untuk menjawab sebuah pertanyaan yang lebih agung. Perjuangan inilah yang menjadi perjalanan abadiku, memecahkan misteri mengapa hati manusia bisa begitu mudah diisi oleh dengki, hasad, dan fitnah, padahal kita semua terbuat dari tanah yang sama. Mungkin, inilah jihadku yang sebenarnya. Jihad untuk memahami manusia, agar kelak aku layak bertemu dengan Sang Maha Pencipta Manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI