Rumah Pohon dan Peti Tikar
Namaku Arai. Aku adalah sulung dari empat bersaudara, dibesarkan dalam sebuah sangkar emas yang ditenun dari benang adab dan etika. Ayah dan Ibu tak pernah memberiku harta, tapi mereka mengisi dadaku dengan permata yang lebih berharga hati yang penuh cinta dan hormat. Bagiku, menunduk pada yang tua dan merangkul yang muda adalah napas, bukan sekadar kewajiban.
Masa kecilku beraroma daun mangga dan nasi hangat. Di halaman belakang, sebuah pohon mangga tua berdiri gagah, dan di salah satu cabangnya yang kokoh, aku dan kawan-kawanku membangun istana kami. Sebuah rumah pohon sederhana, tempat kami bukan hanya berbagi tawa, tapi juga nasi bancakan yang kami bawa dari dapur ibu masing-masing. Di atas sana, kami adalah raja-raja kecil dengan dunia tanpa batas, sebuah kemewahan jiwa yang kini telah direnggut oleh layar-layar dingin gawai dari anak-anak zaman sekarang.
Namun, takdir menarikku dari dahan pohon mangga itu ke sebuah dunia yang sama sekali berbeda, pesantren di Bekasi. Jauh dari pelukan Ibu, aku ditempa untuk menjadi pribadi yang ikhlas dan sabar. Pesantren itu sendiri adalah sebuah legenda. Sosok Kiai-nya begitu karismatik, seolah tatapannya mampu membaca isi kitab di dalam hatimu. Masjidnya, sebuah mahakarya arsitektur yang megah, lahir dari bisik-bisik legenda; konon dibangun dalam satu malam oleh bala tentara jin, serupa mukjizat Nabi Sulaiman.
Di sanalah aku bertarung dengan baris-baris kitab kuning dan panggung muhadoroh. Hingga suatu malam, sebuah peristiwa gaib mengukir takzim abadi dalam jiwaku. Lelah, aku menyelinap ke dalam masjid agung itu untuk berlatih pidato tanpa berwudu. Kantuk mengalahkanku. Aku tak tahu berapa lama aku terlelap, tapi aku terbangun dalam kungkungan gelap yang menyesakkan. Kepanikan merayap saat aku sadar tubuhku terhimpit di dalam sebuah peti kayu panjang, tempat penyimpanan tikar-tikar salat yang digulung. Jantungku berdebar memukul-mukul rusuk. Bagaimana bisa?
Dengan sisa tenaga, aku mendorong tutup peti dan merangkak keluar. Masjid sunyi senyap, seolah menyimpan rahasia kelalaianku. Seorang kakak tingkat yang menemukanku pucat pasi hanya berbisik, "Penunggu masjid ini tak suka disambangi tanpa bersuci, Rai." Sejak malam itu, misteri peti tikar menjadi penjaga batinku. Aku tak pernah lagi berani melangkahkan kaki ke dalam rumah Allah tanpa menyucikan diri terlebih dahulu.
Kord Nirvana dan Solidaritas Jalanan
 Foto Gema Dua Sisi  (Sumber: Gemini)

Rindu Ibu adalah kekuatan yang mampu menarikku pulang melintasi jarak ratusan kilometer. Ayah akhirnya membawaku kembali dan memasukkanku ke sekolah umum. Di sinilah hidupku seperti kaset yang dibalik ke sisi yang lain. Gema selawat dari menara pesantren digantikan oleh distorsi kasar gitar Kurt Cobain dari sebuah tape recorder butut. Kitab Alfiyah berganti dengan buku-buku mekanika teknik.
Aku menemukan diriku yang lain di Sekolah Teknik Menengah (STM). Aku bukan anak yang cerdas, tapi pesantren telah mewarisiku kesabaran yang tak terhingga. Aku bisa duduk berjam-jam, memecahkan satu soal mesin yang rumit dengan ketekunan yang sama seperti saat aku menghafal nadhom. Cita-citaku tak lagi menjadi seorang ustaz, melainkan menjadi insinyur hebat di Jepang, mengikuti jejak Uwa.
Masa remaja ini mengajariku tentang kesetiaan dalam versi yang berbeda. Aku pernah merasakan kerasnya bogem mentah dalam sebuah tawuran, bukan karena aku beringas, tapi karena seorang kawan dilecehkan. Di mata kami, itu bukan kenakalan, melainkan solidaritas sumpah darah persaudaraan yang tak tertulis. Malam-minggu kami adalah surga sederhana. Berkumpul di pos ronda, mengulik melodi renyah dari Pas Band dan Slank, bertukar cerita hingga pagi, rasanya dunia ada dalam genggaman kami.
Pahala untuk Ayah
Lalu tibalah persimpangan itu. Persimpangan yang memaksaku memilih antara jalan yang kuinginkan dan jalan yang diinginkan ayahku. Hatiku telah terpahat untuk mesin dan nada, tapi Ayah menginginkanku menjadi guru.
"Aku ingin jadi insinyur, Pak! Bukan guru!" protesku dalam sebuah perdebatan yang terasa seperti perang dunia di ruang tamu kami. Aku merasa diatur, masa depanku direnggut.
Ayah menatapku dengan tatapan yang baru kusadari kini adalah tatapan penuh cinta dan kekhawatiran. "Bapak tidak menyuruh kamu jadi guru, Rai," ujarnya dengan suara berat. "Bapak hanya inginkan kamu kuliah di keguruan." Sebuah logika yang tak mampu kucerna oleh otak remajaku yang mendidih.
Di tengah badai itu, Ibu datang laksana air sejuk. Tangannya yang lembut mengusap punggungku. "Nak," bisiknya lirih, "tak ada orang tua yang ingin anaknya sengsara. Jika kau turuti keinginan Ayahmu, kau dapat dua pahala sekaligus. Pahala berbakti, dan pahala membahagiakan hatinya."
Kalimat itu meruntuhkan seluruh benteng pemberontakanku. Aku menatap wajah mereka yang mulai digurati usia. Malam itu, aku menggulung mimpi Jepang-ku, membungkam kord-kord Nirvana di dalam batinku, dan memilih jalan yang mereka restui.
Puncak Sunyi dan Pertanyaan Abadi
Dan jalan itu, ternyata, adalah jalan emas. Aku menjadi PNS, Â dan akhirnya mencapai puncak karier sebagai konsultan pendidikan terkemuka. Doa ayah dan ibu telah dijawab dengan begitu indah oleh langit. Namun, saat aku berdiri di puncak itu, aku sendirian. Ayah telah pergi, disusul oleh Ibu. Harapan mereka terkabul, tapi mereka tak ada di sana untuk menyaksikannya. Piala kesuksesan di tanganku terasa dingin dan hampa. Semangatku remuk redam.
Dunia kerja adalah arena yang berbeda. Aku yang masih berduka dilempar ke dalam rimba persaingan yang buas. Terseok-seok, ditopang oleh istriku yang setia, aku mencoba bangkit. Tapi anehnya, di tengah usahaku untuk sekadar bertahan hidup, aku merasakan dinding-dinding tak kasat mata dibangun di sekelilingku. Tatapan sinis, perlakuan yang berbeda, dan nama baik yang mudah sekali tercoreng oleh penilaian sepihak.
"Mengapa mereka membenciku?" jeritku dalam sunyi setiap malam. "Dosa apa yang telah kuperbuat hingga aku selalu tampak salah di mata mereka?"
Di titik terendah itulah, kepingan-kepingan ajaran masa lalu kembali menyatu. Aku teringat nasihat Gus Dur, bahwa bahkan Rasulullah yang mulia pun memiliki pembenci. Lalu aku membuka kembali kitab suciku, dan menemukan ketenangan dalam Surat Al-Baqarah, tentang ujian berupa ketakutan, kelaparan, dan kehilangan, sebagai saringan bagi orang-orang yang sabar.
Kini, aku masih di sini. Masih berjuang. Bukan lagi untuk mengejar target perusahaan, tapi untuk menjawab sebuah pertanyaan yang lebih agung. Perjuangan inilah yang menjadi perjalanan abadiku, memecahkan misteri mengapa hati manusia bisa begitu mudah diisi oleh dengki, hasad, dan fitnah, padahal kita semua terbuat dari tanah yang sama. Mungkin, inilah jihadku yang sebenarnya. Jihad untuk memahami manusia, agar kelak aku layak bertemu dengan Sang Maha Pencipta Manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI